Yayasan Madani Berkelanjutan
Dari kacamata lingkungan hidup, Pilkada merupakan waktu krusial, mengingat 67,72 persen atau 60,5 juta hektare hutan alam; dan 64,33 persen atau 13,9 juta hektare ekosistem gambut Indonesia; berada di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang menyelenggarakan pesta demokrasi tersebut.
Keberhasilan Indonesia dalam menurunkan deforestasi dan degradasi hutan mendapat pengakuan global. Pengakuan global ini di antaranya dalam bentuk pemberian dana sebesar US$103,8 juta sebagai pembayaran kinerja melalui skema Result Based Payment (RBP) dari Green Climate Fund (GCF). Di sisi lain, aktivis lingkungan hidup cemas Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) akan pengaruhi capaian global pengelolaan hutan berkelanjutan Tanah Air.
Dosen Universitas Indonesia yang juga pemerhati lingkungan, Dr. Saraswati Putri, menilai penerapan model ekonomi ekologi sangat urgen. Terutama dalam menjaga kerbelanjutan lingkungan hidup. Hal ini dia utarakan mengingat kegiatan ekonomi dewasa kini yang cenderung berorientasi keuntungan segelintir pihak tanpa mementingkan dampak keberlanjutan dari ekosistem alam.
Di tengah penolakan dari berbagai kalangan masyarakat dan aktivis, DPR RI, DPD RI dan pemerintah kompak menyatakan pembahasan RUU Cipta Kerja di Tingkat I selesai. RUU yang juga dikenal dengan nama Omnibus Law ini pun masuk dalam agenda Rapat Paripurna DPR RI Tingkat II yang akan berlangsung 8 Oktober 2020.
KLHK menerbitkan Kepmen tentang Penetapan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut Tahun 2020 Periode II. Penerbitan Kepmen merupakan upaya KLHK memperbaiki tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut guna menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Yayasan Madani Berkelanjutan menyebut pembangunan tanpa memerhatikan aspek kerentanan lingkungan akan menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar.
RUU Cipta Kerja yang masih terus dibahas oleh pemerintah dan DPR di tengah pandemi Covid-19 berisiko mengurangi pencapaian komitmen iklim Indonesia.