Tiza Mafira: Pelopor Kebijakan Pembatasan Kantong Plastik Sekali Pakai

Reading time: 5 menit
tiza mafira

Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Frustasi Regulasi

Diakui Tiza bahwa jalan yang ia pilih saat ini terkadang membuatnya frustasi terhadap regulasi yang memiliki banyak variabel. Apalagi Indonesia memiliki segudang masalah terutama isu politik yang melekat di isu lingkungan.

“Sebut saja membuat kebijakan atau kampanye, baik data, riset dan prosesnya sudah dilalui semua dan sudah multi stakeholder approach serta berkonsultasi dengan publik, tapi tidak gol kebijakannya. Hal seperti itu terkadang membuat frustasi dan itu sering terjadi. Makanya saat ini saya mencoba untuk tidak fokus hanya pada tujuan akhirnya tapi menikmati proses di mana di dalam proses itu ada capaian kecil yang berdampak besar juga,” ujarnya.

Tiza yang menyukai buku karangan Richard H. Thaler dan Harvard Law School berjudul Nudge: Improving Decisions about Health, Wealth, and Happiness mengatakan kalau dirinya belajar bahwa segala kebijakan tidak harus berisikan sanksi, pidana, dan hukuman. Namun, kebijakan yang memberikan perubahan berpikir kepada masyarakat juga efektif.

“Di Indonesia sendiri kebijakan masih cenderung tidak human center artinya peraturan hanya ada sanksi dan pidana, apalagi untuk masalah plastik sekali pakai ini. Padahal banyak sekali intervensi yang membuat sikap konsumen sendiri bisa berubah dan bijak menggunakan plastik sekali pakai. Tapi karena regulasinya semua pada sanksi dan hukuman, jadi ambisinya sekalian ditutup industri plastiknya, ya tidak bisa. Narkoba saja enggak berhasil ditutup yang sudah jelas-jelas dilarang,” jelas Tiza.

Tiza menambahkan bahwa peraturan human center juga berarti setiap individu masyarakat harus berperan dan bertanggung jawab terhadap sampahnya sendiri. “Tapi pemerintah masih berpikir “Jangan membebani masyarakat”, padahal tidak selamanya beban akan terasa menjadi beban. Bukan membebani tetapi bagaimana membuat konsumen berpikir dengan cara yang berbeda,” katanya.

Tiza yang juga berprofesi sebagai pengacara ini terpilih menjadi salah satu Ocean Heroes 2018. Penghargaan tersebut ia dapatkan karena telah mengampanyekan pengendalian dan penghapusan plastik sekali pakai sejak tahun 2013.

Tiza yang saat ini berumur 35 tahun menjadi salah satu dari lima tokoh aktivis lingkungan hidup dari lima negara (Indonesia, India, Inggris Raya, Thailand, dan Amerika Serikat) yang mendapat penghargaan Ocean Heroes dari Badan Lingkungan PBB (UN Environment).

Dari penghargaan ini Tiza mengajak masyarakat agar ikut mengambil bagian dengan membawa kantong belanja sendiri. Ia berharap penghargaan bergengsi ini dapat menginspirasi lebih banyak pihak dalam mendukung pencapaian target Indonesia untuk membebaskan laut dari pencemaran sampah plastik pada tahun 2025.

“Mendapatkan UN Ocean Heroes tahun 2018 itu merupakan semacam pengakuan bahwa kami (saya dan GIDKP) berjuang di jalan yang benar dan apa yang kami perjuangkan bukan sesuatu yang konyol. Lewat penghargaan ini juga saya berharap banyak anak-anak muda yang berjuang demi lingkungan,” tutupnya.

Penulis: Dewi Purningsih

tiza mafira

Top