Kampanye Pangan Lokal
Meskipun tidak memiliki basis gerakan, Tejo yang sebelumnya berprofesi sebagai konsultan lingkungan, menyatakan bahwa menjadi pegiat lingkungan ini telah menjadi pilihan hidupnya. Penghasilan yang tidak sebanding dengan pekerjaannya dulu, menurutnya merupakan konsekuensi dari jalan yang telah ia dipilih.
“Ini sebenarnya soal pilihan hidup. Masih ada banyak hal yang harus disuarakan dan dikampanyekan kepada masyarakat,” jelas Tejo.
Menghabiskan waktu selama puluhan tahun di bidang lingkungan, Tejo mengaku banyak mempelajari tentang metode gerakan-gerakan LSM. Perlawanan bukan hanya dengan “kepalan tangan” saja. Menurut Tejo, ada banyak cara yang dapat digunakan ketika menyampaikan sesuatu. Tejo sendiri memaknai bahwa perlawanan tidak harus dilakukan dengan mengepalkan tangan saja. Menurutnya, ada waktu-waktu tertentu di mana harus keras dan lembut.
Masyarakat Indonesia, sebut Tejo, memiliki karakteristik yang cinta damai dan sangat menghindari konflik, terlebih jika berkonflik dengan pemerintah. Oleh karena itu, menurut Tejo, dibutuhkan pengemasan yang sedemikian rupa agar masyarakat memahami dan tertarik mengenai permasalahan yang ada di Indonesia. Ia mencontohkan isu pangan lokal yang gencar dikampanyekan oleh Aliansi Desa Untuk Sejahtera. Isu tersebut bukanlah isu yang direncanakan sejak awal. Dibutuhkan pembelajaran dan perdebatan selama lebih dari tiga tahun.
“Kalau kita ngomong petani sama nelayan, siapa yang mau dengar? Tapi kalau kita angkat pangan lokal, masyarakat kota jadi tahu. Petani dan nelayan pun ikut terbantu,” jelas Tejo.
Tumbuh di daerah perkampungan membuat Tejo mengerti akan pentingnya buah dan sayur bagi para petani. Pangan impor menurutnya, selain diragukan kesegaran dan kesehatannya, juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat, khususnya petani.
“Apalagi dengan kondisi dollar naik kayak sekarang. Apa enggak mati kita kalau (makanan) impor semua?” tutup Tejo.
Penulis: TW/G37