Jakarta (Greeners) – Siang itu terasa cukup terik di Jakarta. Namun, di sepanjang sisi timur Kebun Binatang Ragunan, tepatnya di area Jalan Kebagusan Raya terasa sangat sejuk dengan banyaknya pohon besar yang tumbuh di sekitar area tersebut.
“Masuk aja mas, dorong pintunya,” seru seseorang sambil melambaikan tangannya ketika Greeners tiba di sebuah rumah berhalaman luas dengan pintu pagar yang cukup besar.
Orang yang berseru itu adalah Tejo Wahyu Jatmiko, seorang pegiat lingkungan yang cukup lama malang melintang dalam hal pelestarian lingkungan. Meskipun telah menginjak usia 52 tahun, postur badannya yang tinggi dan gerakannya yang energik membuatnya tampak lebih muda dari usianya. Mengenakan kaos hitam dengan tulisan ‘Locavore’, ia pun tak sungkan menerima Greeners di rumah yang menjadi sekretariat Aliansi Untuk Desa Sejahtera.
Tejo, begitu ia biasa disapa, dikenal sebagai pegiat lingkungan yang aktif di Aliansi Untuk Desa Sejahtera. Ia menjabat sebagai Koordinator Nasional dalam kepengurusan aliansi yang juga bernaung pada lembaga swadaya masyarakat (LSM) Perkumpulan Indonesia Berseru (PIB) itu. Organisasi non pemerintah tersebut ia dirikan bersama enam orang kawannya pada 2005. Sebelum mendirikan PIB, Tejo tergabung dalam sebuah LSM bernama Konsorsium Nasional Untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Konphalindo) dalam rentang waktu 1999-2004.
Semasa kuliah Tejo lebih memilih memasuki organisasi kampus yang berdasar minat dan bakat. Ia sendiri menyukai olah raga basket dan voli. Mengambil jurusan Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada (UGM), masa kuliahnya pun lebih sering dihabiskan untuk mencari uang di jalur sesuai yang berhubungan dengan ilmunya, yaitu konsultan lingkungan.
“Teman kuliah saya yang jadi aktivis di kampus saja kaget sekarang. Mereka sampai bilang ‘kok sekarang kamu jadi begini sih’,” cerita Tejo sambil sedikit tertawa.
Tejo sendiri memang tumbuh di keluarga pegawai negeri. Pekerjaan bapaknya yang menjadi seorang dosen biologi di IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) membuatnya harus mencari uang jajan tambahan. Semasa kuliah, pekerjaan konsultan lingkungan yang ia lakukan semata-mata untuk menambah duit malem mingguan saja. Namun, penghasilannya ternyata justru dapat membiayai uang kuliahnya.
“Hasil dari gambar peta saja Rp 5 ribu. Kalau survei tempat, seminggu saja bisa terima Rp 25 ribu. Sedangkan uang kuliah saat itu per semester Rp 18 ribu,” kenangnya.
Meskipun uang yang diterima terbilang cukup besar, namun lama kelamaan Tejo merasa ada satu titik jenuh yang membuatnya merasa harus meningggalkan pekerjaannya sebagai konsultan lingkungan. Perencanaan lingkungan yang dibuatnya semasa menjadi konsultan lingkungan tidak dilaksanakan secara utuh. Bahkan seringkali tidak dijalankan sama sekali oleh para kliennya yang kebanyakan dari pihak pemerintahan.
“Awalnya, sih, enggak apa-apa, orang kita mikir yang penting dibayar, kan? Tapi lama-lama capek juga. Kita susah-susah survey, bikin analisis lingkungan dan rekomendasinya, tapi enggak dijalanin,” ujarnya.
Menjadi pegawai konsultan lingkungan sejak awal bangku kuliah, membuat Tejo memiliki kesempatan untuk bertemu dengan banyak orang, dari pemerintahan hingga aktivis lingkungan. Tejo pun mengakui bahwa pekerjaannya sebagai konsultan lingkungan adalah pintu masuk untuk ‘karier’ di dunia LSM hingga sekarang.