Hari itu, dua pasang kaki terlihat mantap berdiri dan mencengkeram dahan pohon. Pemiliknya sedang asyik dengan aktivitas masing-masing. Ibing yang tubuhnya lebih langsing sedang membersihkan tubuhnya dan sesekali menggetarkan tubuh, sedangkan Loney yang berbadan lebih besar terlihat diam memandangi seekor tupai yang sedang mencari makan di antara rerimbunan pohon.
Oleh Gunawan*
Ya, Ibing dan Loney merupakan 2 ekor Elang Ular Bido (Spilornis cheela) yang menjadi korban perburuan dan perdagangan satwa. Mungkin sejak 2-3 tahun yang lalu mereka diambil dari sarang dan sejak itu tidak pernah lagi mendapatkan kasih sayang induknya. Mereka tidak pernah mengenal apa makanan mereka sebenarnya karena sang pemilik mungkin biasa memberikan potongan daging atau bahkan tahu/tempe.
Elang Ular Bido adalah salah satu dari 75 jenis burung pemangsa (raptor) yang bisa ditemui hampir di seluruh Indonesia dan mempunyai tingkat adaptasi yang tinggi terhadap aktifitas manusia. Oleh karena itu elang jenis ini paling banyak diperdagangkan di pasar-pasar gelap. Tubuhnya relatif besar, sekitar 50 cm dan berwarna gelap dengan bintik-bintik putih di bagian bawah. Iris dan kakinya berwarna kuning. Makanan utama mereka adalah ular, kadal dan reptil lainnya.
Tapi sekarang, setelah mereka menjalani proses rehabilitasi di Suaka Elang selama hampir setahun, mereka telah mendekati perilaku elang liar dan dinyatakan siap untuk dikembalikan ke alam. Lokasi yang dipilih sebagai lokasi pelepasan adalah lokasi Bumi Perkemahan Sukamantri, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Sukamantri dipilih karena kondisi habitatnya yang sesuai dengan kebutuhan jenis satwa ini. Lokasi ini juga menyediakan cukup banyak jenis dan jumlah pakan alami mereka, seperti kadal, ular, tupai, tikus dan mamalia kecil lainnya. Lokasinya yang berada di dalam kawasan Taman Nasional juga dianggap menjadi lokasi yang cukup aman untuk mereka.
Hari itu, sudah cukup siang ketika orang sudah berkumpul di dekat kandang habituasi. Ibing dan Loney terlihat mulai gelisah melihat banyak orang di dekat kandang mereka. Penanda sayap atau wing marker Ibing yang berwarna abu-abu dan Loney yang berwana biru terlihat melambai setiap mereka mengepakkan sayap. Penanda inilah yang akan membantu tim monitoring dalam mengenali keduanya setelah dilepas.
Diantara kerumunan orang tersebut, terlihat kelompok anak-anak berseragam putih-merah. Mereka adalah para siswa sekolah dasar yang lokasinya paling dekat dengan lokasi pelepasan. Cukup jauh mereka berjalan untuk melihat langsung Ibing dan Loney kembali ke alam setelah beberapa hari sebelumnya tim sosialisasi menyampaikan rencana pelepasan elang.
Sosialisasi adalah salah satu bagian yang tidak kalah penting demi kelancaran program pelepasaliaran, agar masyarakat sekitar juga merasa bahwa satwa yang dilepas adalah bagian dari mereka.
Sekitar pukul 10.00, Kepala Balai TN Gunung Halimun Salak sebagai pengelola kawasan menyampaikan sambutannya yang kemudian dilanjutkan dengan pemotongan tali pengikat kandang habituasi.
Sesaat setelah tali putus dan kandang terbuka, Ibing dan Loney langsung terbang ke arah hutan dengan dengan diiringi tepuk tangan orang-orang yang hadir. Dua tim monitoring sudah siap untuk mengikuti setiap pergerakan Ibing dan Loney, paling tidak untuk 2 minggu setelah pelepasan. Tim monitoring akan mencatat setiap perilaku dan pergerakan elang yang dilepas untuk melihat kemampuan mereka bertahan hidup di habitat barunya. Kegiatan monitoring yang paling berat dilakukan.
Walaupun telah dimulai sejak tahun 2004, kegiatan monitoring yang dilakukan saat ini masih tetap mengandalkan visualisasi. Bisa dibayangkan beratnya monitoring ini apabila pelepasliaran dilakukan di hutan lebat dengan medan yang berat.