Proses panjang
Munculnya wacana UU Pengelolaan Sampah juga tidak lepas dari adanya kejadian longsor tempat pembuangan sampah di Bantar Gebang pada tahun 2000 yang memakan korban jiwa. Setelah kejadian itu, beberapa pihak dimintai pendapatnya oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk Sri yang saat itu mewakili Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tempatnya bekerja sebagai peneliti bidang pengolahan sampah.
Saat itu, Sri memberikan pendapatnya bahwa masalah yang terjadi hanya masalah di permukaan karena akarnya adalah ketidakadaan UU yang mengatur secara jelas mengenai pengolahan sampah. Dari pandangan Sri tersebut, DPR memberikan dukungan hingga dibuatlah draf rancangan UU oleh Menteri Lingkungan hidup.
Proses ini tidak mudah, bahkan sampai Sri pensiun pada tahun 2005 rancangan UU belum juga disahkan. Bahkan sampai terjadi lagi longsor di tempat pembuangan sampah, kali itu di Leuwi Gajah, Cimahi, Jawa Barat, 21 februari 2005. Kejadian itu juga yang menjadi momen bagi Sri untuk kembali mendorong DPR, Menteri Lingkungan Hidup saat itu Rachmat Witoelar dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hingga akhirnya pada tanggal 7 Mei 2008, secara resmi Indonesia untuk pertama kalinya memiliki UU pengolahan Sampah.
Perjuangan Sri Bebassari dalam mewujudkan UU tersebut dan pengalaman puluhan tahunnya dalam pengolahan sampah juga yang akhirnya membuat dirinya mendapat julukan sebagai Ratu Sampah Indonesia.
Memiliki UU Pengelolaan Sampah memang tidak lantas membuat masalah sampah di Indonesia dengan mudah selesai begitu saja. Namun undang-undang jelas menjadi langkah awal demi terciptanya tata kelola sampah yang baik.
“Butuh proses memang, Jepang butuh seratus tahun dan Singapura juga butuh 40 tahun untuk sampai seperti sekarang. Namun apa kita mau selama itu? Kalau ada ‘contekan’ harusnya bisa lebih cepat,” kata Sarjana Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Sri yang mulai tertarik dengan bidang pengelolaan sampah sejak dibangku perkuliahan mendapati bahwa masalah sampah sangat multidimensi, bukan hanya sebatas engineering. Hal ini juga yang membuatnya tertarik untuk lebih mendalami kajian mengenai sampah.
Sifat multidimensi dalam permasalahan sampah pula yang membuat pengelolaan sampah menurutnya tidak bisa diselesaikan dalam satu aspek pendekatan saja. Setidaknya butuh lima aspek yang harus terpenuhi, mulai dari aspek hukum, kelembagaan, pendanaan, teknologi dan sosial budaya. Kelima aspek ini tidak bisa tidak harus berjalan beriringan, satu tidak berjalan maka semuanya akan percuma.
“Saat ini bicara pengelolaan sampah terlalu dominan bahasanya soal teknologi, sementara yang lainnya belum,” keluhnya.