Siti Maimunah, Antara Aktivis dan Juru Catat

Reading time: 3 menit
Siti Maimunah. Foto: greeners.co/Teuku Wildan

Jakarta (Greeners) – Awalnya ada rasa gentar untuk menemui sosok Siti Maimunah. Orang yang biasa berhadapan dengan korporasi tambang dan aparatur negara saat melakukan advokasi, biasanya dibenak tergambar sebagai sosok yang kaku dan jutek. Namun, gambaran ini sangat jauh berbeda saat bertatap muka langsung dengan Mai, sapaan akrabnya. Ia ternyata sosok perempuan yang ramah dan hangat.

Mai sudah menjalani berbagai kegiatan advokasi bagi masyarakat yang “diganggu” oleh perusahaan tambang selama 15 tahun terakhir. Dunia advokasi tambang sendiri dikenal Mai sejak ia berstatus mahasiswi di Universitas Jember. Saat itu, di akhir masa kuliahnya, sebuah perusahaan tambang emas ingin menjadikan Taman Nasional Meru Betiri sebagai lokasi penambangan emas. Taman Nasional Meru Betiri merupakan taman nasional yang terletak di antara kota Jember dan Banyuwangi.

Di taman nasional itu, organisasi pecinta alam yang diikuti Mai rutin melakukan pengesahan anggota baru tiap tahunnya. “Meru Betiri itu seperti tempat bermain dan belajar kami. Dan tiba-tiba kami mendengar kawasan itu masuk dalam konsensi tambang,” ujar Mai.

Kabar itu membuat Mai dan kawan-kawannya dalam organisasi Semesta bergabung dengan beberapa LSM untuk memperjuangkan Taman Nasional Meru Betiri agar tidak berubah menjadi lokasi pertambangan. Kegiatan advokasi yang memakan waktu sampai dua tahun itu membuat Mai harus mengabaikan skripsi yang sedang dikerjakannya. Namun sejak saat itu, Mai mengenal beberapa LSM lingkungan dan pertambangan, termasuk Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), LSM tempat ia kini aktif berkegiatan.

“Sejak itu deh jatuh cinta sama advokasi tambang,” katanya mengenang.

Semasa kuliah, Mai mengaku dirinya bukanlah mahasiswi yang rajin masuk kelas. Ia justru lebih banyak mendapatkan pengetahuan dan pengajaran dari berbagai aktivitas konservasi yang dilakukan oleh Semesta, termasuk pula dalam kegiatan advokasi Meru Betiri.

Pengalaman saat mengadvokasi Meru Betiri membuat Mai ingin konsisten melawan perusakan oleh industri tambang. Ia juga merasa bahwa aktivitasnya dalam melawan pertambangan sangat linear dengan kuliah yang ia tekuni.

“Dosen gue dulu pernah bilang, proses alam untuk meciptakan tanah kedalaman 1 sentimeter itu butuh waktu 300 tahun. Enggak butuh lama industri tambang untuk merusak itu, ” jelas perempuan lulusan Jurusan Pertanahan Universitas Jember ini.

Kegiatannya sebagai aktivis mengharuskan Mai untuk berkeliling ke berbagai tempat, mulai dari melakukan advokasi di daerah-daerah di Indonesia hingga mengikuti berbagai konferensi internasional di manca negara.

(selanjutnya..)

Top