Jakarta (Greeners) – Sarwono Kusumaatmadja lahir di Jakarta, 24 Juli 1943. Ia merupakan salah satu saksi sejarah kemerdekaan Indonesia dari masa penjajahan Belanda. Tumbuh dari keluarga yang sederhana, Sarwono juga dikenal sebagai politikus asal Golkar yang dekat dengan Presiden Soeharto. Hingga akhir masa jabatannya sebagai politikus, Sarwono masih menjadi penasihat para menteri.
Meski demikian, ketika ditemui oleh Greeners di kediamannya, Sarwono enggan untuk membicarakan masalah politik dan lebih memilih untuk menceritakan masa kecilnya. Sarwono menggambarkan dirinya sendiri sebagai orang yang memiliki sifat pemalu, penurut, dan rawan kecelakaan. Ia bercerita kalau sejak lahir memiliki kendala motorik
“Kendala inilah yang amat mewarnai perikehidupan saya kelak. Saya menjadi orang yang gerak-geriknya kagok dan rawan celaka. Tidak terhitung jumlah piring dan cangkir yang pecah berantakan karena saya “tabrak”. Banyak energi dan waktu kelak dicurahkan untuk mengoreksi keadaan ini,” ujarnya sambil tersenyum simpul.
Masa kecil Sarwono dijalani sambil berpindah-pindah tempat. Ia dan keluarganya keluar dari Jakarta menjelang akhir pendudukan Jepang, pindah ke Bandung, Cirebon, Tasikmalaya, dan sebuah desa di dekat Cirebon, tempat asal-usul keluarga Ibunya di Palimanan.
Pada masa itulah kehidupan sederhana dari anak-anak yang sering memecahkan barang hingga mengenal dunia politik dimulai. “Ketika saya kecil, saya banyak menerima anggapan bahwa saya tidak ada apa-apanya. Tapi ketika saya bisa melakukan sesuatu yang dianggap orang saya tidak bisa melakukannya, saya menjadi ketagihan,” ucap Sarwono.
Pada awal masa pendidikannya, Sarwono pernah mengenyam ilmu di Eropa selama beberapa waktu. Di sana ia mengaku kalau ilmu pasti (eksakta) bukanlah prioritas sehingga ketika dirinya kembali ke Indonesia dan melanjutkan studinya di SMA Yayasan Raden Saleh, ia merasa menjadi siswa yang paling bodoh.
“Di Indonesia, ilmu yang terkenal itu ilmu pasti (eksakta) seperti fisika, biologi, dan kimia. Pelajaran itu di Inggris tidak saya prioritaskan tapi ternyata di Indonesia penghargaan terhadap ilmu eksakta tinggi sekali. Akhirnya saya mencoba untuk mempelajari ilmu pasti itu di kelas Bagian B. Pada saat itu saya taruhan dengan Peter Paul Krekerberg, Kepala Sekolah Kolese Kanisius, untuk bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan bisa mengejar ketertinggalan,” ujarnya.
Sarwono mengatakan kalau dirinya kemudian berhasil mengejar ketertinggalan tersebut dan semua angka merah yang pernah singgah di rapornya hilang. Ia mengaku keberhasilan itu datang dari orang tuanya yang benar-benar memberikan dorongan moril dari nilai-nilai dasar kehidupan yang ia terapkan hingga kini. Sarwono berhasil menamatkan kuliahnya di Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung, pada tahun 1974.
Kedua orang tua Sarwono meyakini nilai-nilai dasar kehidupan yakni kejujuran, menolong orang, dan tidak membeda-bedakan orang. Ayah Sarwono bekerja di Palang Merah Indonesia (PMI) sedangkan Ibunya, yang ia panggil Mimi, merupakan guru sekolah rendah atau sekolah rakyat.
“Bapak saya tegas, Ibu saya luwes, tapi mereka prinsip dasarnya sama. Itulah yang membentuk kepribadian saya dengan memperhatikan kedua karakter dan sifat Bapak dan Mimi. Kami juga hidup dengan sederhana yang tidak merasa miskin. Pada saat itu telepon pun kami tidak punya, tetapi jika zaman sekarang banyak orang yang mempunyai itu semua tapi hidupnya dirasa tidak cukup,” ujarnya.
(Selanjutnya…)