Jakarta (Greeners) – Sejak United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau UNESCO mengakui batik sebagai bagian budaya dunia dari Indonesia, pamor batik langsung melambung, tidak hanya di Asia tapi juga seluruh negara-negara Eropa.
Namun, masih banyak yang salah kaprah mengenaik batik. Batik bukanlah nama sejenis kain. Batik adalah proses atau cara pembuatan bahan pakaian. Penyebutan batik mulai disederhanakan oleh banyak orang dengan menyebut kain yang dibatik dengan motif tertentu dengan sebutan kain batik.
Warisan budaya ini juga tidak lepas dari sentuhan modernisasi, seperti batik kontemporer atau batik dengan motif bergaya moderen atau lepas dari motif pakem. Nah, salah seorang yang menekuni batik kontemporer adalah Sancaya Rini. Ia di bawah bendera usaha Creative Kanawida yang berlokasi di Pamulang, Tangerang.
Meskipun di dunia industri batik nasional nama Sancaya Rini mungkin belum begitu banyak dikenal, tetapi kiprahnya di industri ini cukup menarik perhatian. Pasalnya, kain produksi Rini menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan. Keunikan inilah yang menjadikan peminat batik Rini umumnya dari kalangan menengah ke atas dan para ekspatriat.
Sancaya Rini membuat batik dengan menggunakan bahan pewarna alami yang terbuat dari berbagai bagian tumbuhan, seperti kulit atau daging buah, dan daun tanaman. Beberapa bahan yang digunakan seperti kulit jengkol, kulit rambutan, kulit mangga, buah alpukat dan buah manggis pun diambil dari limbah rumahan yang tak terpakai lagi.
Di awal merintis bisnis batik, perempuan berkerudung ini sempat ditegur oleh suaminya karena memakai bahan pewarna kimia. Ibu empat anak ini pun tergugah untuk membuat pewarna batik dari bahan-bahan non-kimia. “Inilah yang menggugah saya mencari pewarna batik alternatif,” katanya kepada Greeners.
Karena rasa ingin tahu tersebut, Rini mencari informasi ke Museum Batik. Dari sana, dia mendapat masukan untuk mengganti pewarna kimia dengan pewarna alam. Ia pun mulai coba-coba membuat pewarna alam sendiri di rumahnya. Hasilnya, perpaduan antara motif unik dan warna alam mampu menyuguhkan produk kain batik yang berbeda dan menjerat pasar premium hingga kaum ekspatriat.
Produk batik Rini juga tidak dijual di sembarang tempat. Sebut saja beberapa di antaranya Alun Alun Grand Indonesia di Jakarta Pusat, salah satu gerai di pusat perbelanjaan Sarinah dan Stow Butik di kawasan Panglima Polim menampung karyanya.
Untuk proses pembuatan, pemenang KEHATI Award di tahun 2009 pada kategori Citra Lestari KEHATI ini mengaku memang sangat suka melakukan eksplorasi dan coba-coba saat membuat pewarna batik alami tersebut. Dari eksplorasi inilah, Rini pun memiliki beragam koleksi pewarna batik.
“Caranya tuh gampang banget. Bagian tumbuhan kayak daging buah, kulit, atau daun yang sudah kering atau busuk direbus dengan air. Air rebusan tadi lalu didiamkan minimal semalam. Hasil saringan rebusan itulah yang kemudian dijadikan sebagai pewarna alam,” tuturnya.
Soal harga sudah tidak usah ditebak. Dengan lokasi penjualan dan target yang cukup tinggi, kain batik buatan Rini dijual dengan harga yang bervariasi. Kain batik dengan bentuk scarf dan selendang berbahan sutera misalnya dijual dengan harga Rp 250.000 hingga Rp 950.000. Sedangkan harga kain panjang berbahan lain Rp 650.000 – Rp 1,2 juta. Adapun harga kemeja dibanderol Rp 300.000 sampai Rp 1,2 juta.
“Target kita memang kelas atas dan memang semua pembuatannya hasil dari handmade atau hasil tangan,” pungkasnya.
Sebagai informasi, kian meningkatnya kasus pencemaran lingkungan akibat limbah batik hasil produksi rumahan maupun industri semakin membuat resah. Pasalnya, limbah pengolahan batik dari industri besar maupun rumah tangga yang mengandung bahan kimia, mengendap di sungai sebab tidak ada air yang mendorongnya ke laut.
Misalnya saja Kota Pekalongan, endapan limbah batik di sana mengakibatkan air sungai menjadi berwarna kehitam-hitaman serta memunculkan bau menyengat. Bahkan Ketua DPRD setempat, Salahuddin, mengatakan, saat ini masih banyak industri batik rumah tangga dan perusahaan batik skala besar, yang membuang limbah langsung ke sungai.
Penulis: Danny Kosasih