Jakarta (Greeners) – Rahmat Suprihat, penggiat lingkungan sekaligus Guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 55 Kota Bandung, punya tekad membentuk generasi cerdas. Pendidik asal Kota Kembang ini unik. Selain mengajar di dalam kelas, ia pun menularkan semangat anak didiknya menjadi “generasi berkeringat”.
Pria 53 tahun ini menyalurkan semangat anak didiknya menjadi “generasi berkeringat” dengan bersepeda dan berjalan kaki. Sampai saat ini, berbekal semangat dan pengalaman, Rahmat terus membumikan gerakan bersepeda di kalangan pelajar.
“Generasi berkeringat” yang dibentuk Rahmat adalah sebuah bentuk generasi yang mau menggerakkan dirinya terhadap sebuah kegiatan baik. Sebab, melalui bersepeda dan jalan kaki terdapat nilai baik untuk diri sendiri dan alam semesta.
Rahmat pun terus mendorong anak muda menjadi “generasi berkeringat”, supaya mereka menjadi sosok yang mau meluangkan waktu untuk bergerak tanpa mengeluarkan emisi.
Selain sibuk mengajar, Rahmat kini aktif melakukan kegiatan road to school untuk mensosialisasikan keselamatan lalu lintas dan green transportation ke sejumlah sekolah di Kota Bandung.
Bagi Rahmat, bersepeda di kalangan pelajar sudah menjadi hal paling utama untuk mereka lakukan. Regenerasi penerus mulai dari anak-anak perlu melanjutkan budaya bersepeda.
Menurutnya, manusia butuh kecepatan, jalan kaki baik, tapi kecepatannya tidak sebanding bersepeda. “Harus dipahami dengan hadirnya teknologi berupa sepeda ada nilai manfaat untuk membantu manusia dalam hal kecepatan melakukan sesuatu,” kata Rahmat dalam wawancara dengan Greeners, baru-baru ini.
Rahmat punya alasan kuat hingga kini terus menggencarkan gerakan sepeda kepada anak-anak. Banyak nilai-nilai positif di dalamnya yang membantu mengembangkan pertumbuhan karakter anak. Kedisiplinan, kefokusan, dan ketelitian akan terbangun melalui kegiatan bersepeda.
Konsistensi Rahmat Suprihat Adalah Kunci
Pendekatan Rahmat untuk mendidik siswa bersepeda dan bergaya hidup ramah lingkungan telah ia mulai dari dirinya sendiri. Selama bergelut di bidang lingkungan dan pendidikan, konsistensi merupakan kunci yang ia pegang teguh.
“Menjadi sulit apabila kita bukan pelakunya, jadi setiap edukasi sosialisasi akan mudah manakala kita menjadi orang pertama kita melakukannya,” ucapnya.
Kedua perubahan budaya itu tidak instan, memerlukan sebuah proses dan konsistensi. Ia memiliki cara sederhana untuk menciptakan kebiasaan bersepeda pada anak. Misalnya, saat upacara Rahmat selalu memberi apresiasi berupa barang seperti tumbler untuk pelajar yang konsisten menggunakan sepeda ke sekolah.
Tak sekadar mengedukasi dan mensosialisasikan ajakan bersepeda, Rahmat pun rutin bersepeda ke sekolah agar kebiasaan tersebut bisa para siswa tiru.
Canggihnya Teknologi jadi Tantangan
Upayanya menciptakan “generasi berkeringat” bukan tanpa tantangan. Perkembangan zaman menghasilkan teknologi digital yang berdampak di kalangan pelajar. Sebagian besar dari mereka kini memilih bermain media sosial pada waktu luangnya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Rahmat sebagai sosok yang mendorong generasi muda untuk lebih giat bersepeda.
“Pertama kemajuan teknologi ini menjadi sebuah anugerah, kedua sebagai tantangan. Karena, pada kenyataannya para generasi penerus candu pada media sosial sehingga mereka telah menjadi kekhawatiran bapak sebetulnya,” ungkap Rahmat.
Ia berpandangan, media sosial membuat anak terbiasa hidup santai dan kecanduan di dalamnya. Ini tantangan bagi guru untuk mendorong para siswa tidak tunduk pada media sosial. Mereka perlu mengayuh pedal menjadi “generasi berkeringat”.
Penulis : Dini Jembar Wardani
Editor : RIK