Tipis ozon berlubang
Debu kosmik hujan asam
Matahari tiada tirai
Bakal bunga tak mekar
Daun-daun berlubang
Tak berputar energi
Wajah bumi menangis
Sedang kita tak mengerti
Kita akan terbakar …
Diwariskan untuk anak dan cucu kita.
(Lirik Lagu Efek Rumah Kaca, Efek Rumah Kaca 2004)
Dari Bogor menuju Jakarta menggunakan kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek, akhirnya saya sampai juga di Terminal Blok M setelah diantar sopir bus Kopaja 616. Tidak berapa lama, kawan-kawan Greeners Magazine yang berangkat dari Bandung datang dan kami langsung memutuskan untuk menikmati trotoar menuju kantor Aksara Record di Jalan Brawijaya I No. 1, tempat kami akan mewawancarai Efek Rumah Kaca.
Artikel ini diterbitkan pada edisi 01 Vol. 4 Tahun 2010
Ya, Efek Rumah Kaca, sebuah band yang dibentuk pada 2001 ini diawaki oleh Cholil Mahmud (vokal dan gitar), Adrian Yunan Faisal (bas), dan Akbar Bagus Sudibyo (drum). Komposisi musik yang dibawakan Efek Rumah Kaca memang sangat kontras dengan selera pasar musik Indonesia saat ini yang dipenuhi lagu-lagu cinta picisan. Mereka memotret kondisi sosial masyarakat dengan musik untuk berkarya dan mampu membuktikan bahwa mereka pun dapat berhasil secara komersil. Pada perhelatan MTV Indonesia Music Awards 2008 lalu, mereka pun didaulat sebagai The Best Cutting Edge 2008.
Melihat adanya secercah harapan baru bagi lingkungan hidup Indonesia juga dunia musik Indonesia, Greeners Magazine pun tidak segan-segan untuk mewawancarai mereka. Berikut petikan wawancara Greeners Magazine dengan Cholil (Ch), Adrian (Ad), dan Akbar (Ak).
Bagaimana awalnya Efek Rumah Kaca terbentuk?
Ak: Band ini kami bentuk pada 2001. Saat itu kami beranggotakan lima personel, dengan pemain piano dan gitaris, sedangkan Cholil saat itu “hanya” menjadi vokalis. Namun pada 2003, pemain piano dan gitaris kami memutuskan untuk keluar. Sebelum menjadi Efek Rumah Kaca, kami beberapa kali menggunakan nama band, yaitu Hush, Superego, Rivermaya, tetapi dua nama terakhir sudah dimiliki band lain. Nah, semenjak 2003 hingga 2005, kami nggak pakai nama. Dari 2001 hingga 2005, kami nggak pernah manggung, hanya latihan. Baru pada 2005, tempat kami latihan ini ulang tahun dan mengajak kami manggung. Tentu untuk manggung, kami perlu nama. Harlan Boer, saat ini sebagai Personal Manager Efek Rumah Kaca, mengusulkan nama Efek Rumah Kaca yang diambil dari judul lagu kami yang dibuat pada 2004. Awalnya kami ragu juga karena namanya terlalu panjang dan sama sekali tidak ada unsur filosofi di dalamnya. Namun, akhirnya kami putuskan menggunakan nama tersebut karena itu ternyata catchy juga.
Apa yang melatarbelakangi Efek Rumah Kaca menulis dan membawakan lirik-lirik yang memotret kondisi sosial, politik, dan lingkungan hidup Indonesia yang dapat dibilang cukup jarang dipotret oleh band-band Indonesia saat ini?
Ch: Pada dasarnya kami ingin membuat musik yang tidak hanya menjadi hiburan, tetapi lebih dari sekadar hiburan. Yang pasti ini harus tetap menghibur. Maksudnya, jika kami memasukkan muatan-muatan lain (kritik Efek Rumah Kaca atas kondisi sosial, politik, dan lingkungan hidup, red), musik kami harus tetap mampu menghibur. Jadi tidak hanya satu fungsi, tetapi kedua-duanya. Kebetulan saya (Cholil merupakan pencipta sebagian besar lagu-lagu Efek Rumah Kaca, red) menyukai musik dan hal tersebut dapat saya realisasikan lewat musik. Tema pun bervariatif, biasanya liriknya saya angkat dari pengalaman pribadi dan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Selain membuat lirik, kami juga memasukkan nilai-nilai dan pandangan kami ke dalam lagu tersebut dan yang paling penting adalah proses checking. Apakah lagu tersebut dapat menghibur? Apakah pesannya dapat sampai? Karena biasanya pesan dengan medium musik kemungkinan besar lebih mudah tersampaikan. Walaupun misalnya pendengar tidak suka dengan temanya, tetapi cocok dengan lagunya, ia akan tetap menyanyikannya dan biasanya diulang terus. Siapa tahu kalau ia mengalami sesuatu dan sesuai dengan tema lagunya, akhirnya tertarik juga untuk mengetahui isi lagunya.
Itulah alasan kami mengusung genre pop yang tidak berat karena muatannya sendiri sudah berat. Hal tersebut akan berbeda bila kami membawakan pesan-pesan kami ini dengan musik jaz atau metal. kemungkinan besar pesan-pesan tersebut tidak sampai kepada masyarakat awam, jadi tidak segmented.