Memperingati Hari Gunung Internasional (11 Desember), Dr. Surono atau lebih terkenal dengan panggilan Mbah Rono, menitipkan pesan untuk generasi muda agar bergabung dengan dia, menjadi ahli gunung api. Menurutnya, Bumi Pertiwi yang dikaruniai banyak gunung api merupakan hadiah dari semesta. Karunia ini harus didukung dengan jumlah ahli yang mumpuni.
Dr. Surono mengawali perbincangan kami dengan mengingat kembali lawal mula perjalanan karirnya sebagai ahli gunung api. Mulanya, dia melepas tawaran menjadi dosen di almamaternya, Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk bisa fokus menjadi peneliti vulkanologi.
Ketika tawaran menjadi dosen datang pada 1982, Dr. Surono mendapat tugas untuk menemani tamu seorang peneliti dari University of Wisconsin, Amerika Serikat. Peneliti asing ini tertarik melihat kondisi lingkungan Gunung Galunggung, Jawa Barat, pasca meletus di tahun yang sama.
Interaksi dan perjalanannya kala itu, menimbulkan keresahan dalam sanubari Dr.Surono. Dia pun memutuskan untuk lebih terlibat merawat gunung berapi.
Dr. Surono menceritakan, pada tahun 1980an, belum ada organisasi yang baik mengelola kebencanaan di Gunung Galunggung. Saat itu juga, ketika berada di area gunung pasca meletus, dirinya merasa iba. Dia tidak sampai hati membayangkan nasib warga dan anak-anak sekitar Gunung Galunggung jika gunung api itu kembali meletus.
“Waktu itu saya melihat di bidang kemanusiaannya. Sudah lah kalau begitu, meski berat menolak jadi dosen. Tapi saya memberanikan diri mempelajari gunung api. Mungkin dari situ saya bisa menolong para pengungsi,” ujar Surono kepada Greeners.co, Jumat (11/12/2020).
Dr. Surono dan Awal Mula Panggilan Mbah Rono
Melepas kesempatan menjadi dosen, akhirnya Dr. Surono menggeluti keprofesiannya sebagai peneliti. Awal kariernya bermula di Direktorat Vulkanologi, Departemen Pertambangan dan Energi. Setelah mengantongi ilmu dari program Magister dan Doktoral di Perancis, Dr. Surono kemudian menjadi Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) pada 2003 hingga 2006.
Malang melintang sebagai ahli vulkanologi, Dr. Surono banyak memberi masukan kepada pemerintah ketika terjadi peristiwa gunung berapi. Salah satu yang paling berkesan adalah ketika dirinya menangani dampak letusan Gunung Kelud, Jawa Timur, pada 2007. Saat itu ialah masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dr. Surono menceritakan, kondisi Gunung Kelud berbeda dengan gunung-gunung lain di Indonesia. Saat itu ada sebelas orang yang mengaku juru kunci atau kuncen Gunung Kelud. Guna menghindari keruwetan karena banyaknya juru kunci, akhirnya, Dr. Surono mendapat mandat untuk terlibat dalam penanganan.
Saat mendapat mandat untuk menangani Gunung Keluh itu lah, Ibu Negara RI waktu itu, Ani Yudhoyono memberi panggilan Mbah Rono kepadanya. Kala itu, hanya segelintir orang saja yang memanggil Dr. Surono dengan sebutan ‘Mbah’. Tapi, pada 2010 ketika terjadi letusan Gunung Merapi, Jawa Tengah, panggilan Mbah Rono kian menyebar.
“Saya bangga diberi nama itu dan banyak orang memanggil saya ‘Mbah Rono’ lebih enak. Sebab itu pemberian nama dari orang yang saya hormati. Sebetulnya belum ada yang tahu banyak. Tapi waktu 2010, kebiasaan Pak SBY memanggil saya Mbah Rono pas di depan wartawan. Itu saja,” jelas Dr. Surono alias Mbah Rono.
Mbah Rono: Gunung Bukan Sumber Bencana
Indonesia berada di kawasan ring of fire atau cincin api. Indonesia juga merupakan wilayah dengan gunung dan pegunungan yang sangat banyak. Secara statistik, jumlah gunung api Bumi Pertiwi (127 gunung) setara dengan 13 persen dari keseluruhan gunung api dunia. Bagi awam dari negara asing, fakta ini mungkin terdengar menakutkan. Namun, tidak demikian bagi Dr. Surono.
Untuknya, kondisi tersebut merupakan potensi bagi Tanah Air. Pasalnya, gunung jadi sumber kekayaan alam yang tak ternilai. Jika pengelolaan gunung berjalan baik, lanjutnya, maka bisa menghidupi masyarakat sekitar pegunungan dan melahirkan kemandirian negara di segala sektor.
“Gunung api meletus memberikan kesuburan. Gunung api tidak meletus tidak akan memberikan pasir dan batu yang jadi jalan tol mulus dan gedung yang megah,” jelasnya.
Dr. Surono tidak menampik adanya potensi bencana dengan banyaknya gunung api di Indonesia. Namun dia menyebut berbahaya atau tidaknya gunung api, terlihat dari upaya pengelolaan dan penanganannya. Dr. Surono pun mengakui, di sisi pengelolaan dan penanganan tersebut Indonesia masih belum siap. Baik dari sisi teknologi, penelitian, maupun kesadaran masyarakat.
“Paling-paling kalau ada letusan gunung berapi, banyak pengungsi, banyak yang hubungi saya apa yang harus dibantu. Setelah selesai bencana, lupa semua,” jelasnya.
Mbah Rono: Indonesia Harus Punya Banyak Ahli Gunung
Lebih jauh Dr. Surono menyebut perbandingan jumlah gunung dengan ketersedian tenaga ahli atau peneliti di Indonesia masih belum seimbang. Menurutnya, di luar negeri, setiap satu gunung terdapat 7 sampai 10 ahli gunung. Sedangkan di Indonesia kebalikannya, satu peneliti untuk 7 sampai 10 gunung.
Dr. Surono menambahkan ada pola penanganan berbeda antara gunung api di Indonesia dengan gunung di luar negeri, khususnya Eropa. Perbedaan itu terletak dari sikap masyarakatnya. Menurutnya, pola penanganan gunung di luar negeri lebih banyak untuk aktivitas penelitian. Sedangkan, kedekatan masyarakat dengan gunung api, membuat pola penanganan harus juga mempertimbangkan mitigasi bencana.
“Andai sistem peralatan masih seperti sekarang, ahli-ahlinya dengan jumlah seperti sekarang, itu bahaya sekali bagi masyarakat. Indonesia bisa dituduh tidak peduli padahal memiliki gunung api terbanyak,” katanya.
Baca juga: Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional, Dr. Amir Hamidy Soroti Tren Pelihara Reptil
‘Gunung Indonesia Lestari, Masyarakat Tidak Akan Mati’
Pada momen Hari Gunung Internasional (HGI) tahun 2020 ini, Dr. Surono berpesan agar harmonisasi masyarakat dengan gunung semakin kuat. Tidak hanya untuk mencegah dampak buruk dari bencana, tapi juga mengoptimalkan sumber daya alamnya.
Menurut Dr. Surono, peran ahli atau peneliti serta aktivitas riset dan inovasi terkait gunung menjadi hal yang harus diutamakan. Menurutnya, banyak sekali aktivtas pembangunan atau pemanfaatan gunung yang menyimpang.
Selain itu, dia juga mengkritisi segelintir oknum yang menjadikan gunung sebagai sumber eksploitasi sumber daya alam, sebab tidak mengindahkan masukan dari peneliti. Bahkan, jika pun mendengarkan ahli, jumlahnya masih sedikit. Dampak dari eksplotasi tersebut justru membuat Indonesia menjadi kekurangan dalam kelebihan sumber daya yang ada.
“Kalau gunung di Indonesia lestari, maka dia memberi tanpa pernah meminta kembali untuk penghidupan masyarakatnya. Gunung-gunung Indonesia lestari, maka masyarkat tidak akan pernah mati baik inovasi maupun kehidupannya,” pungkas Dr. Surono.
Penulis Muhamad Marup
Editor: Ixora Devi