Bali (Greeners) – Seperti halnya namanya, penanaman karakter malu dalam perilaku membuang sampah menjadi agenda prioritas bagi Komunitas Malu Dong Buang Sampah Sembarangan. Komunitas yang mewadahi generasi muda ini bergerak dan beraksi nyata di beragam acara festival, sekolah-sekolah hingga pelosok desa untuk mengedukasi masyarakat.
Adalah Komang Sudiarta yang telah membangun komunitas ini sejak 13 tahun yang lalu. Tepatnya, saat peringatan Hari Bumi pada 22 April. Tekad Komang cukup sederhana, yaitu memastikan masyarakat Bali malu untuk membuang sampah sembarangan.
“Tapi ternyata selama 13 tahun perilaku mereka belum banyak berubah. Masih tak punya malu buang sampah sembarangan,” katanya kepada Greeners usai aksi bersih mangrove di Bali, baru-baru ini.
Komang menyadari, bahwa kepedulian lingkungan masyarakat tak bisa serta merta dibentuk tanpa memastikan mental masyarakatnya terlebih dahulu. Hal inilah yang kemudian ia bangun dengan memastikan edukasi anak sekolah dari TK hingga tingkat mahasiswa.
Menariknya, Komang melakukan pendekatan nyata dalam menyadarkan dan mengedukasi mereka soal sampah. Misalnya, anak-anak sekolah jenjang TK yang tinggal di bagian hulu, komunitas ajak pergi ke pantai dan melihat langsung sampah yang terbawa ke pantai. “Dengan cara itu kami harapkan mereka bisa sadar sejak dini untuk tak membuang sampah,” ungkapnya.
Pada jenjang sekolah yang lebih tinggi, seperti SD, SMP, SMA, serta perguruan tinggi tambahnya, pendekatan yang Komang lakukan dengan lebih nyata dan langsung ke sasaran. Misalnya dengan dengan memunguti sampah langsung di kawasan pantai yang secara rutin tiap Minggu sore.
Edukasi Malu Dong Buang Sampah Hingga Pelosok Desa
Komunitas Malu Dong Buang Sampah Sembarangan yang tersebar di seluruh Bali, juga secara rutin mengadakan kegiatan bersih-bersih sampah. Secara lebih luas, gerakan dan aksi ini juga komunitas lakukan pada rantai bagian hulu hingga hilir.
Khusus pada masyarakat luas, komunitas ini mengedukasi masyarakat di pelosok-pelosok desa. “Untuk bulan ini kita edukasi sebanyak 44 desa yang ada di Tabanan. Itu target kita,” ungkapnya.
Masyarakat di pelosok-pelosok desa selama ini masih belum bisa cara memilah sampah, hingga cara mengelola sampah secara benar. Bahkan komunitas ini juga bisa memastikan pembuatan fasilitas pengelolaan sampah itu sendiri. Ia menilai, selama ini tempat penampungan sementara (TPS) dan tempat penampungan akhir (TPA) belum banyak ada dan digunakan secara efektif di masyarakat.
“Misalnya di Songan (Bangli), kami bisa edukasi dan bangun tempat serta pengelolaannya. Tapi tentu saja kita terus melakukan pendekatan dengan pihak-pihak dan tokoh di dalam masyarakat,”imbuhnya.
Komang menegaskan, selama ini sosialisasi yang pemerintah lakukan kurang mengena ke masyarakat. Terbukti, kesadaran masyarakat untuk turut aktif dalam penanganan sampah sekadar pasif dan mengandalkan peran pemerintah. “Masyarakat sejauh ini masih tidak paham karena tak pernah terlibat, selama ini kan mereka selalu berpikir sampah ada yang mengurus sendiri,” tutur Komang.
Uniknya pula, aksi pemungutan sampah juga komunitas lakukan di tempat event berkumpulnya banyak orang seperti konser. Salah satunya Mabesikan Festival tahun 2016 lalu. Komang bersama komunitasnya menyelinap masuk ke dalam kerumunan orang yang menikmati konser musik dan tempat makan.
Tak jarang mereka menangkap basah orang yang dengan mudahnya membuang sampah sembarangan. “Ini aksi nyata kita agar mereka menjadi malu. Malu buang sampah sembarangan,” pungkasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu