Jalan raya merupakan fasilitas umum yang semestinya dapat dimanfaatkan oleh seluruh pengguna baik pejalan, pesepeda, hingga pengendara kendaraan bermotor. Namun, keaadan tersebut tak berjalan optimal terutama di kota-kota besar yang mobilitasnya lebih banyak menggunakan transportasi pribadi. Bahkan di antaranya mengabaikan hak-hak pejalan kaki sehingga keselamatan di jalan menjadi terancam.
Ketua Koalisi Pejalan Kaki (KoPK) Alfred Sitorus mengatakan keadaan tersebut bukan lagi masalah sepele yang dapat dibiarkan begitu saja. Menurutnya hak pejalan yang tidak difasilitasi dan diproteksi berpotensi membahayaka terlebih nyawa menjadi taruhannya.
Atas dasar keresahan tersebut, pada 2011 muncul ide untuk membuat aksi sosialisasi kepada masyarakat. Kampanye itu pertama kali dilaksanakan di Kota Tua, Jakarta Barat, dengan memboikot trotoar dan membentangkan spanduk yang berisi edukasi dan sosialisasi.
Baca juga: Pahlawan Bencana: Pentingnya Kesiapsiagaan Bencana Sejak Dini
Alfred mengatakan cikal bakal terbentuknya Koalisi Pejalan Kaki yakni ketika terjadi insiden yang menimpa 12 pejalan kaki di Tugu Tani, Jakarta Pusat pada 2012 silam. Saat itu KoPK mengajak para anggotanya untuk turun ke jalan satu kali dalam seminggu pada hari Jumat. “Mau berapa banyak orangnya yang penting turun setiap Minggu di hari Jumatnya untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat khsususnya (pengendara) motor,” ucapnya ketika diwawancara langsung, pada Kamis, 20 Agustus 2020.
Kehadiran Koalisi Pejalan Kaki mengusung semangat sebagai bagian dari kontrol sosial yang melihat kondisi kota dari perspektif pejalan kaki. Komunitas yang berbasis di Jakarta Pusat ini memiliki misi menuntut jalur pejalan kaki yang layak, aman, nyaman, dan tertib, mengupayakan zona penyebrangan yang aman dan terlindungi, serta mendeklarasikan tanggal 22 Januari sebagai hari Indonesia Berjalan Kaki.
Dengan edukasi yang cukup masif dan kegiatan Tamasya Trotoar yang dilakukan, saat ini telah ada sepuluh cabang yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Pada 2015, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga mulai merevitalisasi trotoar. Upaya tersebut, kata Alfred akan membawa dampak positif karena dicontoh sejumlah kota dan kabupaten di daerah.
Namun, menurutnya revitalisasi trotoar di Indonesia terutama di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi masih sangat minim. Di Jakarta, misalnya, dari 7.000 kilometer panjang jalan yang ada hanya 600 kilometer trotoar yang baru terealisasikan dari 2015 hingga sekarang. Padahal amanah undang-undang, kata dia, di setiap jalan raya wajib dibangun jalur pejalan kaki.
“Bila diakumulasikan hampir semua kota dan kabupaten di Indonesia rapotnya masih tiga. Bahkan banyak kota wujud trotoarnya ada, tetapi tidak sesuai dengan spesifikasi pedoman trotoar yang ramah dan layak,” ucapnya.
Alfred menjelaskan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 3 Tahun 2014 sudah disebutkan bahwa pembangunan sarana prasarana bagi pejalan kaki di perkotaan harus memiliki lebar trotoar minimal 1,5 meter. Namun, angka tersebut menurut Koalisi Pejalan Kaki belum cukup untuk memfasilitasi penggguna kursi roda dan pejalan kaki.
Ia menyarankan untuk lebar trotoar minimal dua meter. Hal tersebut disesuaikan dengan lebar minimal kursi roda yang berukuran sekitar 80 sentimeter. Jika ada dua, jumlahnya 160 sentimeter ditambah dengan ruang bebas minimal 40 sentimeter.
Baca juga: Komunitas Bring Your Tumbler: Belanja dan Gunakan dengan Bijak
Parameter yang kedua adalah saat trotoar sudah ramah untuk para disabilitas tentu juga sudah nyaman bagi pejalan kaki yang lain. “Jadii, itu ruang yang cukup untuk memfasilitasi disabilitas dan juga pejalan kaki lainnya,” ucap Alfred.
Selain itu guna menampung laporan yang ada di masyarakat, Koalisi Pejalan Kaki membuat sebuah aplikasi. Tujuannya agar para pejalan dapat melaporkan segala pelanggaran yang terjadi di trotoar, jembatan penyeberangan orang, zebra cross, dan pelican crossing.
Meskipun saat ini di sejumlah daerah telah beramai-ramai membuat fasilitas bagi pejalan kaki, Koalisi Pejalan Kaki tetap mendorong dilakukan revitalisasi besar-besaran di seluruh Indonesia. Menurut Alfred harus ada peran dari eksekutif dan legislatif untuk memberikan prioritas pembangunan fasilitas pejalan kaki. “Karena semua manusia yang tinggal di dalam kota ialah pejalan kaki,” kata dia.
Ia juga meminta pemerintah untuk lebih tegas dalam menegakkan hukum bagi para pengendara yang melanggar aturan. “Kota yang beradab adalah kota yang memanusiakan manusianya,” ujarnya.
Penulis: Ridho Pambudi