Jatna Supriatna, Peneliti yang Gemar Bertualang di Hutan

Reading time: 5 menit
Jatna Supriatna. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jatna Supriatna. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Ular dan Primata

Bekerja sebagai peneliti yang meneliti di alam liar membuat Jatna telah melihat berbagai macam satwa liar. Pengalamannya bertemu berbagai hewan liar pun menimbulkan ketertarikannya terhadap beberapa satwa, salah satunya adalah hewan primata.

Menurut Jatna, hewan primata memiliki kecerdasan yang menonjol. Berdasarkan penelitian yang ia lakukan, primata memiliki kemampuan adaptasi dan belajar kualitas super yang tidak dimiliki hewan lainnya.

“Kita belajar banyak dari mereka. (Primata) hewan yang cerdas dan mereka bisa berkomunikasi di antara mereka, bisa belajar sendiri,” jelasnya.

Selain hewan primata, ular juga merupakan hewan yang dikagumi oleh Jatna. Rasa penasaran Jatna terhadap ular terjawab ketika ia bekerja di Museum Zoologi Bogor. Salah seorang rekannya yang juga peneliti ternyata sangat memahami serta mengerti sifat dan perilaku ular. Ia pun berlatih kepada rekannya untuk mempelajari karakteristik dan perilaku ular.

“Ular itu gentle, dia tidak akan mematuk kalau tidak diprovokasi. Makanya kita jangan provokasi, kalau mau pegang ekornya,” ujar pria penemu spesies katak bertaring ini.

Jatna mengaku tidak mudah untuk memahami ular. Ia pun kerap digigit ular selama mempelajari hewan tersebut. Namun, ia mengatakan bahwa hal itu tidak membuatnya takut dan kapok.

Kekaguman Jatna terhadap ular maupun hewan primata telah ia tumpahkan dalam buku, yaitu “Ular-Ular Berbisa di Indonesia” dan “Panduan Lapangan Primata Indonesia”. Buku “Ular-Ular Berbisa di Indonesia” sendiri merupakan buku perdana yang ditulis oleh Jatna. Sampai saat ini Jatna telah menulis sepuluh buku mengenai keaneka ragaman hayati dan lingkungan di Indonesia, termasuk kedua buku di atas.

Sering bertemu hewan liar saat melakukan penelitian, tidak membuat Jatna berniat untuk menjadikan hewan tersebut sebagai “oleh-oleh” untuk dibawa ke rumahnya. Baginya, memelihara hewan liar tidak jauh beda dengan memenjarakan mereka.

“Jangan pelihara. Kalau saya pikir itu (memelihara hewan liar) kan sama seperti kita yang dipenjara, kebebasannya diambil dan sebagainya,” tegasnya.

Selain kebebasan yang dirampas, pemeliharaan satwa liar pun diyakininya akan merusak ekosistem dan alam. Ia pun menyebut fenomena memelihara satwa liar sebagai tragedy of common. Istilah ini dipakai Jatna untuk menggambarkan bagaimana manusia di luar kesadaran mereka secara perlahan merusak rantai makanan dan ekosistem alam.

Jatna pun secara tegas menolak adanya perdagangan dan pemeliharaan satwa liar. Baginya, tidak ada satu alasan pun yang membenarkan adanya perdagangan satwa liar yang berujung pada pemeliharaan satwa liar oleh masyarakat.

“Itu yang membuat saya berpikir jangan coba-coba untuk pelihara kecuali Anda mau memperbaiki, mau merestorasi atau mau melepas hewan tersebut ke alamnya,”pungkasnya.

Penulis: TW/G37

Top