Jalagayatri, Aktif Berikan Edukasi Masalah Sampah

Reading time: 2 menit
Komunitas Jalagayatri. Foto: dok. Jalagayatri

Jakarta (Greeners) – Sampah identik dengan hal yang tidak berguna dan sering kali dianggap sesuatu yang jorok dan kotor. Hal ini membuat orang enggan berdekatan dengan sampah, terlebih jika harus bersentuhan dengannya. Persepsi demikian jika tidak dibarengi dengan sikap aktif untuk mengelola sampah dan membuang sampah pada tempat sampah akan menimbulkan kerugian, mulai dari banjir hingga pencemaran lingkungan.

Masalah sampah ini juga membuat Fadel Achmad sedikit kesal. Pria yang berdomisili di Jakarta ini menyayangkan masih banyaknya warga yang tinggal di Jakarta namun memiliki kesadaran yang rendah mengenai kebersihan dan pengelolaan sampah.

“Orang-orang enak bisa pulang kampung kalau Jakarta rusak. Kalau gue mau balik ke mana? Kan kampung gue di Jakarta,” ujar pria yang biasa disapa Ichay ini.

Meski demikian, Ichay tidak hanya mengeluh dan tidak melakukan apa. Bersama dengan kawan-kawannya, Ichay mendirikan Jalagayatri, sebuah komunitas yang peduli mengenai masalah sampah.

Komunitas Jalagayatri. Foto: dok. Jalagayatri

Komunitas Jalagayatri. Foto: dok. Jalagayatri

Dibentuk pada Oktober 2014 lalu, komunitas Jalagayatri telah melakukan berbagai kegiatan yang berbasis edukasi lingkungan, khususnya pengelolaan sampah. Jalagayatri sendiri melakukan edukasi lingkungan secara rutin di beberapa lembaga pendidikan seperti kampus Universitas Nasional dan SMP Kanisius Jakarta.

Menurut Ichay, di lembaga pendidikan, edukasi mengenai sampah dan pengelolaannya sangat diperlukan. “Banyak sumber-sumber sampah yang tidak terkelola dan ironisnya ini justru terjadi di lingkungan akademis,” katanya.

Ichay dan beberapa pendiri Jalagayatri sudah aktif melakukan pengelolaan sampah di berbagai tempat dan sekolah di Jakarta sebelum komunitas mereka berdiri. Ichay sendiri sudah mendampingi pengelolaan sampah di lima kampung dan satu lembaga pendidikan, yaitu SMP Kanisius yang sampai saat ini masih bekerja sama dengan Jalagayatri.

Menurut Ichay, organisasi atau komunitas bukanlah sesuatu hal yang harus didirikan secara tergesa-gesa. Baginya, yang terpenting adalah aksi nyata dari rasa peduli terhadap masalah sampah.

“Kebutuhan akan organisasi itu belakangan tumbuhnya, yang penting hasrat menyalurkan untuk jadi ‘tukang sampah’nya tetap jalan,” ujarnya sembari tertawa.

Komunitas Jalagayatri. Foto: dok. Jalagayatri

Komunitas Jalagayatri. Foto: dok. Jalagayatri

Ichay bersama dua pendiri Jalagayatri lainnya, Adi Susilo dan Banu Wayah Prasetyo Utomo, merupakan eks pegiat di Jakarta Green Monster (JGM). Ichay mengaku ia dan dua pendiri lainnya mendapatkan banyak pelajaran mengenai pengelolaan sampah saat tergabung dalam JGM. Oleh karenanya, mereka memutuskan untuk tetap menjalankan proses edukasi sampah kepada masyarakat ketika keluar dari JGM.

Sampai saat ini, Jalagayati memiliki 5 anggota dan 20 orang volunter. Meski demikian, bagi Ichay dan kawan-kawannya, jumlah anggota bukanlah suatu hambatan untuk terus berkegiatan mengedukasi sampah pada masyarakat. Menurutnya, mengedukasi sampah tidak harus dimonopoli oleh satu pihak saja. Itu sebabnya, ia tidak berkeberatan ketika harus bekerja sama dengan komunitas lainnya dalam hal edukasi sampah.

“Yang penting buat kami itu bagaimana bisa menyalurkan ilmu tentang sampah kepada masyarakat,” katanya.

Kegiatan Jalagayatri dapat dilihat di blog mereka infojalagayatri.wordpress.com, facebook Komunitas Jalagayatri, dan twitter @JALAGAYATRI.

Penulis: TW/G37

Top