Provinsi Sulawesi menjadi habitat asli spesies Burung Maleo. Dahulu, keberadaannya dapat dengan mudah ditemukan di hutan tropis dataran rendah Pulau Celebes ini. Namun, kini habitatnya mulai terancam punah akibat peralihan fungsi hutan menjadi lahan industri.
Hilangnya ekosistem hutan yang terus berlanjut, tingkat kematian spesies yang tinggi, dan populasi yang terus menyusut, membuat habitat Burung Maleo makin terbatas ditemui. Spesies ini juga terancam punah karena jumlahnya kurang dari 10.000 ekor.
Latar belakang tersebut membuat Herman Sasia (49 tahun) tergerak hatinya untuk peduli terhadap kelestarian Maleo. Cerita masyarakat menyebut bahwa di sekitar taman nasional terdapat habitat Burung Maleo, tetapi menurut Herman, selama ia bertugas di sana spesies tersebut sudah hampir punah bahkan menemukan keberadaan sarangnya pun sulit.
Pria yang bertugas sebagai Polisi Kehutanan di Taman Nasional Lore Lindu ini kemudian mulai mempelajari segala informasi mengenai Burung Maleo. Tahun 2003, ia mulai menjaga populasi dan menyelamatkan telur-telur Burung Maleo dari predator seperti biawak maupun perburuan manusia.
Baca juga: Chanee Kalaweit Dedikasikan Hidup untuk Kelestarian Owa
Menjadi aktivis konservasi dengan menyelamatkan satwa endemik tentu bukan hal yang mudah. Hal itu pun turut dirasakan oleh Herman. Ia menerima ledekan hingga perkataan yang kurang menyenangkan dari masyarakat sekitar. Namun, semuanya tak menyurutkan langkahnya.
Ia mengatakan sebagai aktivis konservasi memang membutuhkan mental yang kuat dan keikhlasan. Menurutnya dalam mengemban tugas konservasi harus memiliki keikhlasan dan sifat rela berkorban.
“Pada prinsipnya (manfaat) konservasi bukan untuk pribadi, tetapi untuk orang banyak. Itu salah satu kenikmatan tersendiri,” ujar Herman Sasia dalam Acara Sarasehan Kalpataru, Rabu, (15/8/2019).
Aksi konservasi yang dilakukan alumni Universitas Tadulako ini berfokus pada pelestarian Burung Maleo yang populasinya semakin hari terus mengalami kepunahan. Namun, ia juga tidak mengesampingkan hutan sebagai habitat alami spesies Maleo.
Berbagai cara ia lakukan, seperti mengimbau dan melarang masyarakat untuk tidak menebang pohon. “Jangan sampai merusak karena kalau sudah dirusak pasti semua satwa akan menghilang atau berpindah dan punah,” ucapnya.
Mayoritas profesi masyarakat di sekitar Taman Nasional Lore Lindu merupakan petani dan pemburu. Dengan pendekatan secara perlahan, Herman terus berkomunikasi dan berbagi pengetahuan ke masyarakat mengenai Burung Maleo yang sudah mengalami kepunahan. “Itulah yang setiap hari saya bicarakan. Memang harus seperti itu,” kata dia.
Selama 17 tahun mengabdi sebagai seorang aktivis konservasi, usaha Herman pun membuahkan hasil. Hingga 2019, jumlah spesies Maleo mencapai 1.000 ekor di sekitar 20 hektar lahan di Taman Nasional Lore Lindu. Lahan tersebut masuk dalam zona yang diawasi oleh pemerintah sehingga dapat meminimalisir aktivitas perburuan.
Ia menuturkan di lokasi tersebut ada sembilan titik tempat bertelurnya Burung Maleo. Herman tidak bekerja sendirian dalam mengawasi dan melestarikan spesies yang terancam punah itu. Sampai saat ini ada lima polisi kehutanan yang mengawasi titik sarang Burung Maleo di wilayah Taman Nasional Lore Lindu.
Baca juga: Burung Maleo, Mengerami Telur dengan Bantuan Panas Bumi
Dukungan pemerintah untuk mengembangkan habitat konservasi menurut Herman sangat diperlukan. Ia menuturkan dukungan pemerintah membuat aktivis konservasi lebih merasa dihargai. Sebab, tak jarang para pegiat ini merogoh kocek pribadinya untuk biaya operasional. “Perlu ada dukungan yang bisa membuat orang mendapatkan penghasilan,” ucapnya.
Sampai saat ini Taman Nasional Lore Lindu menjadi salah wilayah konservasi sekaligus edukasi yang dibuka untuk umum. Berbagai kalangan seperti mahasiswa juga melakukan penelitian di sana. Menurut Herman, ini menjadi suatu kebanggan untuk memberikan ilmu kepada masyarakat maupun mahasiswa. Untuk memperkenalkan lingkungan dan menumbuhkan kepedulian kepada generasi muda, perlu diperkenalkan sedini mungkin.
“Pengenalan soal lingkungan, manfaat, satwa, tanaman, mempertahankan air, udara yang segar dikenalkan walaupun dalam bentuk cerita, itu harapan saya,” ujarnya.
Dengan lingkungan yang baik, kata dia, masyarakat bisa hidup dengan aman dan nyaman. Sedangkan perkebunan dan pertambangan, menurut Herman hanya dapat merusak lingkungan alam. Meski kerusakan alam tidak terasa sekarang, dampaknya akan terasa setelah 10 atau 15 tahun ke depan. Ia menuturkan begitu hutan rusak, hancur akar-akarnya, lalu datang musim penghujan baru, bencana baru terasa.
Penulis: Ridho Pambudi