Dr. Amir Hamidy telah menapaki hampir seluruh provinsi di Indonesia demi reptil. Sudah tidak terhitung jumlah daerah yang dia datangi. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang fokus di cabang ilmu herpetologi atau ilmu kehidupan reptilia ini juga telah menelusuri pulau kecil di pelosok Bumi Pertiwi guna mendata pelbagai hewan berdarah dingin. Keteguhannya bukan tanpa alasan. Bagi Dr. Amir, bila sebuah pulau biodiversitasnya tidak terdata berarti kawasan itu belum sepenuhnya milik Indonesia.
“Kalau tidak didata, biodiversity termasuk di dalamnya reptil, kita belum memiliki (pulau itu). Meski secara yuridis, kita belum sepenuhnya memiliki,” ujar Dr. Amir kepada Greeners, Kamis (5/11/2020).
Berawal dari Kengerian akan Ular
Perbincangan kami membuat Dr. Amir Hamidy bernostalgia. Dia mengingat lagi, memori yang tidak menyenangkan terkait fauna keahliannya ini. Jauh sebelum dia mendedikasikan diri sebagai peneliti reptil, tepatnya ketika dia masih duduk di bangku sekolah dasar di Pacitan, Jawa Timur, dia pernah terbirit-birit dikejar ular. Untungnya, ketakutannya berbuah manis. Kengerian ular tidak membuat Dr. Amir ciut. Alih-alih bersembunyi dari fauna ini, dia malah makin penasaran. Didampingi kedua orang tuanya, Dr. Amir kecil mulai memberanikan diri ‘berkenalan’ dengan hewan dingin itu.
Perkenalannya dengan reptil semakin erat ketika dia memasuki masa kuliah. Dr. Amir menjadi mahasiswa di Jurusan Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Fokus yang dia pilih yakni ilmu herpetologi. Tidak berhenti sampai di situ, hubungan karib Dr. Amir dengan para reptil juga terjalin berkat aktivitasnya sebagai Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Tentu saja, ketika menjelajahi pegunungan, Dr. Amir dengan serta-merta bergaul lebih jauh dengan satwa ini.
Begitu lulus dari jurusan Biologi, Dr. Amir bergabung dengan lembaga ilmu pengetahuan satu-satunya di Indonesia, LIPI. Gerbang kesempatan bagi Dr. Amir untuk meneliti reptil pun semakin terbuka. Di lembaga yang terkenal kuat dengan ilmu murninya itu, ada laboratorium yang fokus mengaji dan bertanggung jawab terhadap kekayaan reptil di seluruh Bumi Pertiwi. Dengan segala pengalamannya dengan reptil, tidak mengherankan bila Dr. Amir menjadi calon yang paling antusias ketika ada tawaran untuk meneliti di laboratorium tersebut.
“Amfibi dan reptil bukan hewan yang cantik dan disukai. Jadi ada tawaran untuk mengerjakan ini dan saya langsung masuk dan mempelajari itu. Dari situ jenjang karier dibangun,” terangnya.
Dr. Amir Hamidy: Alam adalah Laboratorium Biologi Terbesar
Walaupun perjalanan karirnya tampak mulus, namun tidak berarti tiada kendala yang dia alami. Salah satu tantangan dalam meneliti reptil di Tanah Air yakni keterbatasan literatur dalam melakukan penelitian. Sama seperti meneliti sejarah, ketika meneliti satu spesies dirinya tak jarang harus membaca literatur sejak spesies tersebut pertama kali ditemukan.
“Literatur itu kita tidak kekurangan kalau kita mencari. Jangan cari tahun 2000-an. Sekarang dengan ada biodiversity library dan perpustakaan online, naskah-naskah lama bisa dicari,” tambahnya.
Dr. Amir menegaskan, banyak sekali potensi reptil yang bisa masyarakat manfaatkan untuk ekonomi maupun kesehatan. Namun, untuk mengetahui potensi tersebut tak jarang perlu kesabaran. Dia mencontohkan, para peneliti mumbutuhkan seratus tahun untuk mengungkap potensi kekebalan dari komodo. Seratus tahun sejak peneliti menemukan komodo, baru mereka mengetahui keunikan potensi kekebalan tubuh satwa itu. Tentu saja, dewasa kini, perkembangan teknologi dan bertambahnya informasi sangat membantu dalam mengungkap potensi reptil.
“Ini juga bisa terjadi untuk spesies di sekitar kita. Bisa jadi kita pada saat ini belum menemui manfaatnya, tapi seratus tahun kemudian misal ketika teknologi sudah banyak, itu bisa ada manfaatnya yang lain,” hematnya.
Sebagai peneliti, tak jarang Dr. Amir menghadapi tantangan yang justru datang dari luar laboratorium. Misalnya ketika penelitian di wilayah terpencil dengan akses transportasi yang sangat terbatas. Karakter geografis Indonesia yang terhampar di ribuan pulau membuat waktu penelitian lebih banyak habis di pejalanan. Selain itu, dukungan terhadap riset keanekaragaman hayati juga belum banyak, terutama dari segi pendanaan.
Bagi para calon peneliti, Dr. Amir berpesan untuk terus gali kemampuan di luar kepintaran di laboratorium. Pendekatan sosial seperti cara bernegoiasi dan mengedukasi masyarakat setempat merupakan kecakapan yang juga esensial bagi peneliti. Terlebih, banyak masyarakat yang tidak memahami tujuan dari penelitian.
“Alam itu adalah laboratorium terbesar kita. Di gedung penelitian itu bagian kecil dari laboratoraium alam. Biologi itu di alam. Ketika aktivitas semua interaksi ada disana, ada negosiasi. Kemampuan itu harus dimiliki,” pesan Dr. Amir.
Baca juga: Dr. Herlina Agustin: ‘Hari Satwa Dunia Membuat Saya Prihatin’
Dr. Amir Hamidy: Pemelihara Reptil, Tolong Jangan Narsis
Di Bumi Pertiwi, tersebar tak kurang dari 760 jenis reptil. Dengan jumlah spesies yang sudah begitu banyak, Dr. Amir menerangkan, reptil masih menjadi kelas dengan tingkat persentase penemuan jenis baru tertinggi. Artinya, masih banyak reptil yang belum terdata. Informasi yang terkumpul saat ini seolah hanya puncak gunung es. Masih ada bagian besar yang menjadi misteri. Dengan infromasi yang masih terbatas, bahkan bagi peneliti, tidak mengherankan apabila awam Tanah Air juga tidak memiliki pengetahuan mumpuni tentang reptil. Dr. Amir menyebut salah satu contoh nyata kesenjangan pemahaman masyarakat adalah ketika menjadikan reptil, satwa buas, sebagai hewan peliharaan.
Dari pantauan Dr. Amir, para pemelihara reptil bukan orang sembarangan. Mereka biasanya berasal dari kalangan menengah ke atas, mengingat penjual satwa membanderol hasil buruannya dengan begitu mahal. Dr. Amir menilai para pemelihara mereken reptil sebagai barang koleksi. Ada pula sebagian orang yang menjadikan reptil sebagai ajang untuk narsis. Terutama narsis di laman media sosial dan kanal Youtube. Kenarsisan ini memicu tren di masyarakat. Dr. Amir pun cemas menyaksikan tren memeliharan reptil buas nan mematikan.
“Biasanya, ketika orang pelihara reptil suka narsis. Seperti koleksi saja. Contohnya king cobra. Itu pasti pemeliharanya narsis. Tujuannya memelihara itu sebab ingin menunjukan pemiliknya bisa menaklukan reptil yang ditakuti itu. Sehingga mereka mengesampingkan faktor safety dengan dalih sudah mengetahui kebiasaan king cobra,” paparnya.
Korban Gigitan Ular Lebih Banyak Pemelihara Satwa
Dr. Amir lalu menjelaskan statistik kasus meninggalnya manusia oleh king cobra. Umumnya, kasus kematian bukan pada mereka yang bekerja sebagai petani atau pekebun, melainkan dari kalangan yang memelihara atau melakukan atraksi. Sayangnya, sampai saat ini tidak ada regulasi yang mengatur pemeliharaan satwa berbahaya di Tanah Air. Di sisi lain, pakar dan pegiat satwa yang terus menggaungkan bahaya memelihara reptil malah seringkali terabaikan.
Baginya, salah satu pemaknaan dalam memeringati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional adalah dengan lebih bijak memelihara satwa, terutama reptil. Pasalnya untuk beberapa jenis ular misalnya belum ada anti bisa. Jika pun pemerintah mulai mengembangkan vaksinnya, tujuannya tentu bukan untuk memfasilitasi pemeliharaan reptil buas.
“Jadi harus bijak memelihara satwa. Kalau tidak perlu dipelihara biarkan di alam, jangan di kandang,” ajak Dr. Amir.
Penulis: Muhammad Ma’rup
Editor: Ixora Devi