Jakarta (Greeners) – Jamu masih identik dengan minuman kuno. Meski banyak kandungan manfaatnya bagi kesehatan. Di tangan Hanny Wijaya jamu berupaya naik pamor di tengah arus modernisasi.
Adalah Christofora Hanny Wijaya, wanita yang dapat julukan “dosen jamu” ini baru-baru ini meraih penganugerahan Sarwono Award XX dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). BRIN menilai Hanny adalah ilmuwan perempuan yang berfokus pada bidang pangan fungsional.
Saat ini Hanny juga sebagai Guru Besar Program Studi Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Tak hanya itu, ia juga menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Penggiat Pangan Fungsional dan Nutrasetika Indonesia (P3FNI). Julukan “Dosen Jamu” tersemat dalam namanya karena ia terlibat aktif mengajar mata kuliah terkait jamu pada universitas di luar negeri.
Saat Greeners temui usai penghargaan, Hanny menyebut, sebagai salah satu pangan fungsional, jamu memberikan banyak manfaat bagi manusia. Bahkan sejak tempo dulu, masyarakat Indonesia telah akrab dengan minuman ini. Meski, banyak yang masih memandang sebelah mata.
“Saya begitu sedih ketika berbicara mengenai jamu karena banyak yang menganggap tak seksi dan ilmu kuno. Sementara mereka banyak yang bangga membicarakan CTM atau obat dari luar,” katanya di Jakarta, Selasa (23/8).
Hanny menilai, banyak masyarakat Indonesia dulu yang memberikan over claim terhadap jamu. Hal itu berdampak pada hilangnya kredibilitas jamu yang tak bisa dipegang mutu khasiatnya. Selain itu, cita rasa jamu yang kurang friendly dan ketinggalan zaman kerap jadi alasan kelemahan jamu. Oleh karena itu Hanny mencoba menyentuh ilmu dan pengetahuan agar jamu bisa terstandarisasi komponen aktifnya.
“Lebih dari itu, jamu bersifat holistik dan side effect lainnya bisa kita kurangi dan keunggulannya bisa dimanfaatkan. Misalnya, jamu tak selalu sebagai obat, tapi penjaga kesehatan untuk minuman daya tahan tubuh. Itu yang saya sebut tanaman pangan fungsional,” tuturnya.
Dosen dengan Ratusan Publikasi Jurnal
Padahal lanjutnya, selama aktif mengajar mata kuliah terkait jamu di luar negeri, dunia global sangat terbuka menerima eksistensi jamu. “Mereka ingin tahu karena mereka tidak mempunyai kekayaan biodiversitas seperti kita. Bahkan mereka lebih terbuka dibanding masyarakat kita sendiri,” imbuhnya.
Beruntung, saat ini nasib jamu di dalam negeri telah signifikan seiring dengan adanya model inovasi berbagai olahan produk sehingga lebih banyak masyarakat terima. Contohnya, mulai merebak kafe-kafe jamu, minuman jamu yang diracik dengan kopi kekinian, hingga permen dari pemanfaatan rempah-rempah seperti jahe.
Masa kecil Hanny sebagai “anak pasar” membuatnya akrab dengan kondisi sekitar. Sempat menyelesaikan S2 di Hokkaido University (1984), Hanny merasakan masa populernya pangan fungsional di Negeri Sakura tersebut. Kesempatan itu ia gunakan untuk menggencarkan potensi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati, termasuk jamu dari Indonesia.
Dalam perjalanan risetnya, dosen jamu ini telah mempublikasi 100 jurnal nasional dan internasional. Selain itu melahirkan 10 buku dan beberapa buku bab termasuk dalam buku pegangan kimia pangan yang Springer terbitkan.
Sebanyak 15 paten hasil karya Hanny telah disetujui. Dua dari paten-paten tersebut sudah dan akan masuk komersialisasi. Di antaranya permen fungsional dengan nama Cajuputs Candy dan minuman herbal fungsional dengan nama Glucodiab.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin