Kerja bersama masih sebatas slogan
Saat ini, strategi pencapaian SDGs di Indonesia masih minim dan lamban dilakukan oleh pemerintah. Hal ini diakuinya akibat dari budaya kerja sendiri-sendiri di antara pemerintah dibandingkan moto kerja bersama yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Birokrasi dianggapnya memang selalu lebih lambat dibandingkan pihak independen. Ia menceritakan kalau budaya seperti ini sudah terjadi lama sejak ia menjabat di pemerintahan.
“Dari dulu saya selalu ribut saja pada teman-teman di pemerintahan. Ayo dong jangan kerja sendiri-sendiri. Kita harus bekerja sama baik antar pemerintah, maupun bersama LSM dan masyarakat. Sekarang mungkin sudah kelihatan sedikit-sedikit. Waktu dulu itu susah sekali, antar dirjen saja masih jalan sendiri-sendiri,” jelasnya.
Saat ini, kerja bersama memang sudah sedikit kelihatan. Seperti contohnya Kementerian Pekerjaan Umum yang bekerjasama dengan Kementerian Perdagangan untuk merestorasi pasar tradisional, Kementerian Pekerjaan Umum bekerjasama dengan Kementerian Perhubungan untuk membangun rumah susun di lahan Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Ini membuatnya cukup senang walau hanya terjadi pada beberapa lembaga saja.
Melihat persoalan lingkungan hidup, tidak bisa hanya dari satu sisi. Persoalan sosial seperti kemiskinan, hukum dan budaya juga sudah seharusnya menjadi satu kesatuan jika ingin benar-benar membenahi lingkungan hidup di Indonesia. Contohnya permasalahan kebersihan sungai. Dahulu, Kementerian Pekerjaan Umum hanya melihat bagaimana membenahi sungai secara fisik. Padahal tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja. Sungai sangat terkait dengan volume air dan konservasi di hulu itu sangat penting. Manusia di pinggir sungai tidak bisa dilihat lagi sebagai pengganggu, tapi sebagai stakeholder yang mampu memelihara kualitas sungai.
“Ini juga yang kami gagas dari Ciliwung Bersih. Tapi kan semua itu masih tergantung dari siapa pemimpinnya. Tidak semua kementerian juga sudah bekerja secara bersama-sama. Yang penting poin utamanya dari semua itu ya SDGs. Mau pemerintah, LSM, swasta (bisnis) maupun masyarakat, bisa melakukan apapun dengan arah yang sama, yaitu pemenuhan SDGs,” ujar perempuan yang baru beberapa bulan lalu ini meluncurkan buku biografi intelektual berjudul ‘Erna Witoelar Membangun Jembatan’.
Dalam buku tersebut, Kakak ipar dari Wimar Witoelar dan istri dari Rachmat Witoelar ini menceritakan kisahnya sebagai ‘kutu loncat’ yang seringkali berpindah dari satu organisasi ke organisasi lain. Bahkan ada sebuah kesempatan dimana ia mampu menekuni beberapa organisasi dalam satu waktu.
Buku yang merupakan hadiah dari sang suami ini pun menceritakan tentang debut Erna yang berawal dari aktivis mahasiswa saat berkuliah di Institut Teknologi Bandung. Perjalanan Erna sendiri bukan mulus tanpa hambatan. Perempuan berperawakan tinggi 152 cm dan berat 48 kg yang jarang sekali bersolek ini mengaku bahwa ia sama sekali tidak pernah melamar pekerjaan. Namun pengalamannya yang sering berpindah organisasi ini dijadikannya sebagai penyambung ide dan gagasan antara pemerintah dan lembaga-lembaga swasta.
“Makanya perjalanan yang bak jembatan ini saya jadikan sebagai buku setebal 256 halaman di hari ulang tahun saya yang ke-70,” katanya.
Sebagai penutup perbincangan, putri dari Andi Walinono, seorang pensiunan hakim pengadilan tinggi, dan sempat menjadi pemain drum pada sebuah grup band wanita, Makrejareja (bergembira ria) pada masa SMA-nya ini berharap bukunya mampu dinikmati oleh para generasi muda sebagai sumber inspirasi, khususnya bagi perempuan.
“Ini penting karena kemajuan suatu bangsa terletak pada generasi muda yang peka, peduli, mau belajar dan siap untuk mengoreksi diri serta menerima kritik dari orang lain,” pungkas kolektor puluhan asbak dan kotak korek api ini.
Penulis: Danny Kosasih