Jakarta (Greeners) – Usia Andi Erna Anastasjia Walinono memang sudah tidak muda lagi, namun semangat dan perjuangannya tidak kalah dengan generasi-generasi muda saat ini. Sepak terjang perempuan yang akrab dikenal dengan nama Ir. Erna Witoelar ini, baik di pemerintahan maupun organisasi-organisasi di Indonesia sudah tidak diragukan lagi.
Erna Witoelar adalah mantan Duta Besar Khusus PBB untuk MDGs (Tujuan Pembangunan Milenium) di Asia Pasifik (2003-2007). Erna juga pendiri dan pernah memimpin beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), KEHATI (Yayasan Keanekaragaman Hayati), DML (Dana Mitra Lingkungan), YIPD (Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah), Kemitraan untuk Tata Pembaharuan Kepemerintahan, dll. Pernah menjadi Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dan Presiden CI (Consumers International); serta aktif di berbagai komisi dunia dan organisasi internasional.
Pada satu kesempatan, Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah pada Kabinet Persatuan Nasional (1999-2001) ini menerima kedatangan tim Greeners dengan tangan terbuka. Dikunjungi di kediamannya di sekitar wilayah Senopati, Jakarta Selatan, Erna bercerita banyak mengenai peran generasi millenial yang telah mengubah peta filantropi di Indonesia hingga budaya ‘gengsi’ dan ‘kerja sendiri’ yang masih terjadi di pemerintahan.
Menurut Co-chair (ketua bersama) Dewan Pengarah Filantropi Indonesia ini, peran generasi milennial dalam mengembangkan filantropi, secara tidak langsung telah mengubah pola berderma atau menyumbang di Indonesia. Menurutnya, pola pemberian sumbangan selama ini identik dan terfokus pada dana. Namun generasi milennial lebih banyak terpaku pada pemanfaatan potensi dan kapasitas untuk mengembangkan dan mempertajam inisiatif sosial yang dilakukan.
“Generasi millenial ini memperluas bentuk kontribusi atau sumbangannya menjadi lima bentuk, yakni pengetahuan/keterampilan, waktu, voice (suara/aspirasi), jaringan, cinta (kinesthetic ability) barulah bicara soal dana,” ujarnya.
Nenek yang memiliki 7 cucu dari 3 orang putra ini menjelaskan, jika menarik waktu dari lima tahun terakhir, peran dan keterlibatan kaum muda dalam kegiatan filantropi meningkat secara signifikan. Sebagian mereka mendirikan yayasan atau organisasi berbasis komunitas untuk mengembangkan berbagai program sosial yang menjadi minat atau perhatiannya.
Sebagian lainnya menjadi pendukung, volunteer dan donatur di berbagai organisasi sosial. Filantropi milennial mengubah citra filantropi yang selama ini identik dengan aktivitas kedermawanan ‘orang tua’ atau ‘orang kaya’ menjadi aktivitas yang bisa dilakukan oleh siapapun, di manapun dan dengan cara apapun.
Kontribusi filantropi sendiri terhadap pencapaian SDGs atau konsep pembangunan berkelanjutan diakuinya cukup besar. Filantropi Indonesia telah berkomitmen untuk berkontribusi dan membantu pencapaian dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Apalagi, semua pencapaian di SDGs menjadi prioritas dari Filantropi Indonesia. Keamanan sosial juga diperlukan untuk pencapaian 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tersebut. Bisnis dan filantropi, katanya, telah 3 tahun lebih cepat memasuki pola pikir untuk membuat suatu tujuan pembangunan berjangka panjang.
“Sekarang kan banyak juga orang-orang yang ‘sibuk’ di luar urusan lingkungan yang masuk ke dalam isu lingkungan. Mereka tidak terjebak pada apa masalahnya, tapi fokus pada solusinya. Ini sangat baik,” tutur perempuan yang lahir di Danau Tempe, Sulawesi Selatan, 6 Februari, 70 tahun lalu ini.
(Selanjutnya…)