“Di Indonesia penghargaan untuk peneliti tidak ada, dibandingkan dengan Cina yang sangat luar biasa. Penelitian semestinya ditujukan untuk bela negara, bukan mencari nafkah. Apalagi dengan jumlah peneliti di Indonesia, menurut data World Bank hanya sekitar 216 peneliti per satu juta penduduk. Bagaimana kita mau mengejar ilmu pengetahuan yang luar biasa?”
Di kantornya yang berada di Perpustaakan Nasional, Profesor Endang menunjukkan beberapa jenis koleksi mikroba hasil penelitianya. Salah satunya sudah dikembangkan di Amerika Serikat dengan omset sekitar 16 miliar USD.
“Mikroba Non-Streptomyces Actinomycetes memiliki manfaat anti kolseterol. Sekarang anti kolesterol diproduksi oleh LIPITO, perusahaan Amerika.”
Ia juga memberikan contoh bahwa Indonesia harus banyak belajar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan seperti di Amerika Serikat. Mereka melakukan penelitian untuk kepentingan industri dengan cara mendanai ahli di suatu negara untuk menemukan solusi atas suatu masalah.
Sebanyak satu persen keuntungan perusahaan disimpan pada suatu organisasi penelitian. Kemudian dikelola untuk kepentingan perusahaan Amerika. Misalnya, seorang ahli translokasi ion kalsium di Brazil menemukan dosis kafein yang tepat agar saat diminum oleh ibu hamil tidak menyebabkan translokasi ion kalsium.
Amerika Serikat sudah memobilisasi peran peneliti luar untuk mencari solusi bagi negaranya. Sedangkan Indonesia baru pada tahap memberi izin peneliti asing untuk kepentingan pribadi, bukan mendatangkan peneliti asing untuk bekerja di sini.
“Seharusnya kita mengundang peneliti dunia selama satu hingga lima tahun untuk kepentingan bangsa Indonesia. Kalau tidak keanekaragaman hayati yang kita punya tetap tidak bisa dipahami secara mendalam nilainya, baik untuk pangan, kesehatan, dan perekonomian.”
Penulis: Ridho Pambudi