Jakarta (Greeners) – Indonesia dapat menjadi negara yang sejahtera jika mampu memanfaatkan keanekaragaman hayati. Namun, menurut Profesor Endang Sukara, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, data base keanekaragaman hayati Indonesia masih belum jelas. Akibanya penurunan biodiversity sulit dihitung bahkan kian mengalami kepunahan. Saat ditemui di Jakarta Pusat pekan lalu, ia menjelaskan banyak aspek yang perlu dipahami dan diterapkan untuk mengelola keanekaragam hayati di Indonesia.
Belajar dari Pengetahuan Lokal
Bangsa Indonesia memiliki suku-suku yang berbeda dari satu pulau ke pulau. Keanekaragaman budaya tersebut juga dicirikan melalui bahasa. Terdapat lebih dari 600 bahasa dari berbagai suku. Hal itu pun tercermin dalam keanekaragaman hayati, khususnya tumbuhan, yang beragam di setiap daerah.
Kekayaan hayati tersebut memunculkan teknik pengobatan dari tanaman berupa jamu dan herbal atau dikenal sebagai pengetahuan lokal (local knowledge). Pengujian dilakukan selama ribuan tahun dan terus berkembang hingga kini. Sayangnya, di Indonesia ilmu tersebut belum tercatat dan terdokumentasikan seperti yang dilakukan Cina.
Di sana, penghargaan terhadap pengetahuan tradisonal dikukuhkan. Sedangkan di Indonesia informasi diceritakan dari generasi ke generasi, tanpa adanya catatan atau dokumentasi.
Belajar dari Binatang
Setiap jenis makanan yang dimakan oleh orang utan, semestinya dapat dimakan oleh manusia. Baik sebagai obat-obatan, sumber vitamin, karbohidrat, maupun sumber mineral.
Sementara orang di seluruh dunia hanya memakan 21 spesies tanaman seperti padi, jagung, dan kedelai. Keanekaragaman tanaman di Indonesia sudah menyediakan beragam sumber makanan sekaligus menjadi solusi untuk mengatasi masalah pangan.
Menurut Endang, masyarakat kita belum belajar menghormati hal-hal tradisional. Ia juga mencontohkan dari keanekaragam satwa kita belum banyak belajar. “Misalnya, harimau punya ketajaman mata yang luar biasa. Mungkin struktur mata dapat diteliti lebih dalam, kenapa bisa begitu?”