Dua Dekade Petani Perempuan Perjuangkan Hak Atas Tanahnya

Reading time: 7 menit
Para petani perempuan yang memperjuangkan hak atas tanahnya. Foto: Istimewa
Para petani perempuan yang memperjuangkan hak atas tanahnya. Foto: Istimewa

Jakarta (Greeners) – Pembangunan masif seperti jalan tol dan perumahan skala besar memang memberi kenyamanan bagi masyarakat urban. Namun, pembangunan ini menuntut lahan luas yang sering kali merampas hak hidup masyarakat. Di tengah ketidakadilan itu, perempuan tampil di garis depan, bersuara dan berjuang mempertahankan tanah yang telah lama mereka garap dan tinggali.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Sartika menyatakan jika proses-proses pembangunan itu tidak menjalankan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan, banyak pihak akan mengalami krisis. Di antaranya adalah petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan kelompok marjinal. Dalam sistem agraria di Indonesia, mereka masih menjadi kelompok yang terdiskriminasi, khususnya dalam hal perlindungan dan pemulihan hak.

Peringatan Hari Kartini setiap 21 April menjadi momen penting untuk mengingat bahwa perempuan berperan besar dalam memperjuangkan hak-haknya, termasuk hak atas lingkungan hidup yang adil dan berkelanjutan. Hal ini tercermin dari perjuangan tiga perempuan luar biasa, yaitu Tiomerli Sitinjak dari Pematangsiantar, Wati dari Ciamis, dan Luh Sumantri dari Buleleng.

BACA JUGA: Perempuan Gigih Berjuang Gaungkan Revolusi Guna Ulang

Selama lebih dari dua dekade, ketiganya berdiri teguh di garis depan, memperjuangkan hak atas tanah yang telah mereka garap dan tinggali secara turun-temurun. Perjalanan mereka bukan tanpa hambatan. Ada fase kritis harus mereka hadapi, mulai dari ketimpangan penguasaan tanah, perampasan lahan, hingga konflik agraria yang kian meningkat.

Lantas, seperti apa sebenarnya perjuangan mereka selama lebih dari dua dekade ini?

Tiomerli Sitinjak, Tak Gentar Hadang Ekskavator demi Lindungi Tanahnya

Lahir di tengah keluarga petani, bertani telah menjadi bagian dari kehidupan Tiomerli sejak kecil. Baginya, kegiatan bertani sungguh menyenangkan, karena ada harapan tanaman itu akan tumbuh dengan baik. Itulah mengapa hatinya begitu hancur ketika tanah yang selama lebih dari 20 tahun menjadi tempatnya bergantung hidup terancam diambil untuk area perkebunan.

“Lebih dari 700 orang datang untuk menghancurkan tanaman dan rumah, 16 unit ekskavator diturunkan pula. Tanpa ingat rasa takut, kami berlari mencegat dan memanjat ekskavator, mencegah mereka menghancurkan semua. Tanah ini adalah kehidupan kami, hasil tani ini untuk menyekolahkan anak-anak kami,” kata Tiomerli.

Ia bercerita, Kota Pematangsiantar di Sumatra Utara, dulunya merupakan perkampungan orang tuanya. Pada 1969, lahan mereka diambil dan dijadikan perkebunan, hingga kemudian pada 2004 Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan tersebut habis masa berlakunya.

“Karena HGU perkebunan tidak diperpanjang, masyarakat bersama-sama mengklaim lahan ini untuk menjadi tempat tinggal dan lahan pertanian. Jalan sudah dibangun, begitu juga dengan masjid dan gereja,” ujarnya.

Saat itu, akhirnya kehidupan mereka aman dan tenteram. Namun, pada 2022 perusahaan perkebunan yang sama, kembali mendapatkan HGU. Tanpa bertanya pada rakyat, perusahaan tersebut mengerahkan orang untuk merusak semua. Padahal, tidak semua keluarga yang rumah dan tanamannya dirusak tersebut menerima tali asih (semacam penggantian dalam bentuk uang).

Dua setengah tahun terakhir ini, Tiomerli dan teman-teman sekampungnya hidup dengan sangat tidak nyaman. Ia mengatakan, “Bahkan, bertani di pekarangan rumah saja tidak aman. Malam hari bisa dirusak orang. Begitu juga kalau kami pergi meninggalkan rumah. Ketika pulang, tanaman sudah dirusak juga.”

Masyarakat di sana kini hanya berstatus petani, tapi tak bisa bertani lagi, hanya bekerja serabutan. Apa pun pekerjaan yang ada, akan mereka kerjakan, termasuk bongkar muat bahan bangunan dan menenun. Padahal, sebelumnya masyarakat di sana hidup dengan guyub dalam bertani. Ketika Tiomerli menanam jagung, ia mengajak teman-temannya untuk bantu menanam. Begitu juga ketika temannya menanam, Tiomerli ikut membantu.

Perjuangan Berlanjut

Perjuangan untuk mendapatkan hak tanah masih terus berlanjut. Tiomerli menjadi Ketua Sepasi (Serikat Petani Sejahtera Indonesia). Tugasnya sebagai Ketua Sepasi adalah merangkul teman-temannya supaya kuat berjuang.

“Tanah ini memang tanah negara. Namun, kami juga berhak atas tanah negara. Itulah semangat yang selalu saya berikan kepada kawan-kawan untuk bertahan hidup di sini. Hidup kami memang agak sulit. Tapi, kalau pindah, akan pindah ke mana? Kalau dapat tali asih 30 juta rupiah, bisa pindah ke mana, mau bekerja apa?” ujarnya.

Berbagai jalan telah Sepasi tempuh. Mereka mendatangi berbagai pihak, mulai dari Walikota Pematangsiantar, Polres, Kanwil Medan, Komisi II DPR RI, juga Komnas HAM. Bahkan, Komnas HAM turun ke lapangan, mengevaluasi situasi, dan sudah mengeluarkan surat agar perusahaan perkebunan itu menghentikan dahulu kegiatannya. Sebab, dinilai telah melakukan pelanggaran HAM.

Namun, surat tersebut diabaikan oleh mereka. Sepasi juga sempat mengadakan pertemuan di Jakarta, tapi hasil musyawarah di sana tidak terlaksana. Apalagi, ketika keluar peraturan menteri pada 2024 yang menyatakan bahwa tidak ada peruntukan perkebunan di wilayah Pemantangsiantar.

“Kami sungguh berharap kehidupan kami tidak diganggu, kami tidak diusir dari tanah yang sudah kami tempati lebih dari 20 tahun. Jangan miskinkan kami. Dengan hidup selama 21 tahun di sini, kami sudah berhak memohon kepada negara untuk mengakui kami menempati tanah ini,” kata Tiomerli, yang siap untuk terus berjuang.

Wati, Berjuang untuk Hak Tanah Tanpa Kenal Lelah

Bagi masyarakat Banjaranyar, Ciamis, Jawa Barat, bertani adalah kehidupan. Mayoritas warga di sana bertani sebagai mata pencaharian. Bahkan, warga desa yang punya usaha toko pun bertani.

Menurut Wati, hasil bertani mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menambah penghasilan keluarga. Misalnya, sebagian singkong mereka konsumsi, sebagian lainnya mereka jual. Hasil penjualannya untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.

“Kalau tidak ada tempat pertanian, kami mau makan apa? Bagaimana kami mau membangun rumah? Semua bisa kami lakukan dari hasil pertanian,” katanya.

Sayangnya, belum semua warga Banjaranyar mendapatkan hak tanah yang mereka garap. Sebagian sudah mendapatkan sertifikat, sebagian lagi masih terus berjuang.

“Sudah 24 tahun kami berjuang. Prosesnya memang sangat lama. Memperjuangkan hak tanah tidak bisa sebentar. Tidak seperti main hompimpa, tidak seperti membalikkan telapak tangan, dan perjuangan itu tidak pernah berhenti. Jika berhenti, ‘musuh’ akan ‘menyergap’ tanah kami,” kata Wati.

Dalam perjalanannya berjuang atas hak tanah, Wati mendapat pendampingan dari sebagian besar mahasiswa. Aktif di berbagai organisasi membuat Wati belajar banyak hal tentang hak perempuan atas tanah. Kehadiran KPA sebagai pendamping yang terus melakukan edukasi juga menambah ilmunya.

Ia menegaskan, perjuangan tersebut membutuhkan keberanian besar. Rumah Wati pernah didatangi aparat yang mencari-cari suaminya, yang memang seorang aktivis tentang hak tanah. Wati tidak gentar. Dengan suara lantang, ia menantang balik para aparat tersebut.

“Sejujurnya saya lebih takut kalau mereka menemukan suami saya. Dia bisa dipenjara dengan tuduhan penjarahan tanah,” kisahnya.

Manggandeng Perempuan di Kampung

Melihat keberanian Wati, perempuan di kampungnya seperti tertular semangatnya. Wati pun mulai mengumpulkan mereka setiap kali ada kesempatan. Berbekal pengetahuan yang ia miliki, Wati memberi pemahaman soal hak tanah bagi perempuan dan selalu mengingatkan tentang pentingnya memperjuangkan hak tanah.

“Supaya mudah mengumpulkan mereka, saya membuat pengajian, seperti yasinan keliling. Jadi, sebelum yasinan, saya bicara dahulu dengan ibu-ibu. Bahwa perjuangan ini bukan perjuangan laki-laki, perempuan harus terlibat. Tapi, ketika mengadakan aksi di bawah terik matahari, perempuan di rumah saja. Kasihan, kan, kalau ada anak yang ikut,” cerita Wati.

Tak hanya dapat pemahaman, ibu-ibu tersebut juga belajar berpikir, berpidato, berbicara di depan umum, belajar tentang ilmu-ilmu tanah, tentang mengapa harus mempertahankan tanahnya. Wati sendiri belajar tentang hak dasar atas tanah dari suami yang kerap mendapatkan pelatihan dan pendidikan dari pendamping seperti KPA.

Wati berjuang bersama dalam wadah bernama Serikat Petani Pasundan (SPP). Menariknya, sejak awal berdiri, SPP menempatkan perempuan dengan hak dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki. Wati mencontohkan, ketika proses reclaiming tanah, sudah langsung tertera nama suami dan istri. Dalam reclaiming itu diatur batasan bidang tanahnya.

“Semisal, ada seorang istri mendaftar dan memohon dua persil (sebidang tanah dengan batasan tertentu). Nama istri dan nama suami sama-sama terdaftar. Ada juga ibu-ibu yang mendaftar dua persil dengan namanya sendiri, sementara suaminya tidak mau terdaftar, karena takut didatangi polisi,” tambahnya.

Perjuangkan Kebenaran

Sejauh ini, wilayah Banjaranyar 2 dan area persawahan 2 sudah mendapatkan sertifikat tanah. “Karena musuhnya sudah tidak ada,” kata Wati. Sementara itu, Banjaranyar 1 dan persawahan 1 masih berjuang untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Di Banjaranyar 2, SPP sudah membangun sekolah tingkat PAUD, SMP, SMK, dan pesantren.

“Karena ada sekolah, pemerintah jadi ikut membantu, misalnya dalam hal bangunan. Awalnya, dana pembangunan sekolah berasal dari iuran warga,” kata Wati, yang bercita-cita membangun perguruan tinggi di sana.

Bagi yang masih berjuang untuk mendapatkan hak tanah, Wati berpesan, “Jangan takut akan kebenaran”. Menurutnya, walaupun perjuangannya memang tidak segampang itu, tetapi hasilnya indah.

Luh Sumantri Dua Dekade Menanti Keadilan

Cerita perjuangan perempuan dalam mempertahankan tanahnya tidak berhenti di Wati dan Tiomerli. Perempuan dari Bali, Luh Sumantri juga masih berjuang dan menanti keadilan selama dua dekade lamanya.

Diminta kembali pulang ke Bali setelah bertahun-tahun hidup sebagai transmigran di Timor Timur (kini Timor Leste), Sumantri dan teman-temannya tidak memiliki hak tanah di negerinya sendiri. Selama 21 tahun tinggal lagi di Desa Sumberklampok, Buleleng, selama itu pula eks transmigran Timor Timur mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak tanah. Hingga kini, permohonan itu belum terkabul.

“Berbeda sekali ketika kami masih tinggal di Timor Timur. Di sana tanah garapan kami lebih luas, dan mudah sekali mencari pekerjaan di ladang. Proses kepemilikan lahan juga mudah. Seiring berjalannya waktu kami tinggal di sana, pemerintah Timor Timur langsung menerbitkan sertifikat tanah, tanpa perlu kami ajukan permohonan,” kata Sumantri.

Sementara itu, di tanah kelahirannya sendiri, Sumantri sudah memohon sangat lama, tapi belum juga mendapatkan sertifikat. Ia bercerita, sejauh ini baru lahan pekarangan saja yang mendapatkan sertifikat, lahan garapannya belum.

Berita baiknya, perjuangan untuk mendapatkan hak tanah di Bali berbeda dari teman-teman mereka di luar Bali. Sebab, di Bali tidak pernah ada larangan untuk menggarap lahan. Tidak pernah ada kasus menggusur tanaman atau rumah.

“Tidak ada yang merusak tanaman kami. Hanya saja, hak kepemilikan tanah itu belum juga kami dapatkan,” tuturnya.

Unjuk Rasa dengan Damai

Dengan pendampingan KPA, Sumantri dan teman-teman eks transmigran Timor Timur, melakukan pemetaan partisipatif. Mereka harus mengulang lagi pengajuan permohonan untuk lahan garapan, padahal sebelumnya sudah diajukan bersamaan dengan lahan pekarangan. Tak hanya itu, mereka juga melakukan unjuk rasa secara damai. Sepulang dari Timor Timur, suami Sumantri, I Nengah Kisid, sempat mendatangi DPRD provinsi untuk meminta keadilan.

Selama ini pemerintah menempatkan mereka di kawasan hutan produksi, yang lahannya bisa digarap untuk pertanian. Selain itu, untuk menambah penghasilan, mereka juga beternak sapi, sebagian juga yang beternak babi. Masing-masing kepala keluarga menggarap 50 are (sekitar 5.000 meter persegi). Sedangkan permohonan atas kepemilikan tanah yang mereka ajukan adalah seluas 136,94 hektare untuk 107 kepala keluarga.

Lahan garapan yang mereka kelola terletak tidak jauh dari permukiman. Di sana, mereka menanam tanaman musiman seperti cabai, kacang, dan jagung. Hasil panen tidak mereka jual langsung ke pasar, melainkan ke tengkulak dengan harga yang cukup adil. Sementara itu, lahan pekarangan seluas 4 are mereka tanami berbagai tanaman untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari keluarga.

Kembali Memimpin Perjuangan

Sumantri tak berhenti mendampingi suaminya, Kisid, sejak kembali dari Timor Timur terus memimpin perjuangan tersebut. Setiap kali menghadap pemerintah, ia tidak mau berhadapan pada peraturan pemerintah yang menurutnya tidak terkait dengan masalah yang mereka hadapi.

“Suami saya meminta pemerintah agar bijak dalam menyelesaikan kasus pengungsi eks Timor Timur. Kalau mengacu pada peraturan, pasti tidak ada yang nyantel,” katanya.

Hidup Sumantri saat ini cukup sejahtera, tetapi hatinya resah karena tidak punya sertifikat kepemilikan tanah. Ia khawatir akan status tanah yang mereka tempati, karena ada keturunan yang tinggal di sana juga.

“Kami tidak pernah tahu kebijakan pemerintah nanti. Beda pemimpin, beda kebijakan. Kami berharap, melalui program-programnya, pemerintah sekarang bisa berpihak pada rakyat. Semoga mereka berkomitmen untuk menyelesaikan kasus eks transmigran Timor Timur,” imbuhnya.

Ketiga perempuan Indonesia yang sedang berjuang mempertahankan tanahnya ini mencerminkan bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk terus berjuang demi mendapatkan haknya. Perempuan bisa bersuara, dan perempuan tak mengenal batas lelah dalam memperjuangkan keadilan.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top