Memperingati hari primata pada 30 Januari, Greeners mewawancarai Dr. Sri Suci Utami Atmoko. Dr. Suci menyoroti kemudahan akses informasi yang menjadi pedang bermata dua bagi kelangsungan hidup primata.
Indonesia memiliki sekitar 60-an jenis spesies primata. Hal tersebut menjadikan Indonesia negara dengan jenis spesies primata terbanyak di Asia. Namun, belum semua potensi spesies primata di Indonesia tergali. Kehadiran peneliti sangat penting untuk mengungkap potensi primata agar berguna keberlangsungan mahluk hidup lain.
Hal tersebutlah yang membuat Dr. Sri Suci Utami Atmoko terpanggil untuk meneliti primata. Dosen di Universitas Nasional (Unas) ini mengawali sepak terjang penelitian primata sejak mengenyam pendidikan sarjana di Fakultas Biologi Unas. Dari situ, kecintaannya terhadap primata tumbuh dan terus bertahan.
“Mengenal primata dari kegiatan di Fakultas Biologi di Universitas Nasional. Kita punya kelompok atau kegiatan mahasiswa studi grup primata. Sempat ada program kerja sama Unas dengan Utrecht University, dan dapat peluang untuk riset di lapangan. Saya dapatnya di Taman Nasional Gunung Leuser,” ujar Dr. Suci kepada Greeners melalui sambungan telepon, Jumat, (29/01/2021).
Berawal dari Bangku Sekolah
Dr. Suci mengakui keterlibatannya dalam penelitian banyak terbantu oleh arahan para guru semasa sekolah. Perempuan yang senang dengan aktivitas alam ini pernah mendapat wejangan dari guru sejarah di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Guru SMP itu, lanjutnya, menekankan pentingnya mempelajari sejarah sebagai bagian dari upaya menjaga kekayaan alam yang Indonesia punya.
“Dari situ jiwa konservasinya muncul. Lucu ya, dari sejarah,” ingatnya.
Beranjak ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), dia bertemu dengan seorang guru mata pelajaran biologi. Guru lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu melihat potensinya yang memiliki ketertarikan mempelajari ilmu genetika. Guru tersebut lalu menyarankan Dr. Suci agar mendalami ilmu biologi ke Unas.
“Guru SMA itu mungkin bisa lihat bakat. Dia menyarankan ke Unas. Padahal beilau sendiri lulusan UGM,” katanya.
Saran tersebut berbuah manis. Semasa mahasiswa Dr. Suci mulai mengenali pentingnya primata. Tidak sekadar hewan lucu dan pintar saja, tapi dia juga mulai menyadari fungsi penting primata dalam menjaga keberlangsungan ekosistem.
Soroti Tren Memelihara Primata di Media Sosial
Ketua Pusat Studi Primata Unas ini menyampaikan, informasi mengenai primata saat ini lebih baik di banding tahun-tahun sebelumnya. Masyarakat bisa mengakses informasi yang sesuai dengan usia. Selain itu, pelbagai pihak yang peduli primata juga mulai menggunakan berbagai platform media untuk mengedukasi masyarakat.
Meski begitu, Dr. Suci memandang mudahnya akses informasi juga menjadi dilema bagi keberlangsungan hidup primata. Perdagangan pimata melalui media sosial, memicu peningkatan perburuan terhadap primata. Dia berharap ada langkah antisipatif yang lebih dini dari pemerintah maupun pihak terkait agar informasi jual beli primata bisa dicegah.
“Media sosial ini bebas, tidak ada penyaringnya. Di lain sisi, tidak bisa juga membatasi informasi. Harusnya ada yang bisa bersihin. Kita punya ahli teknologi informasi keren, kok. Kenapa tidak bisa melakukan itu?” ujar dosen yang menyelesaikan studi doktoralnya di departemen Biologi, University of Utrecht, Belanda ini.
Dr. Sri Suci Utami Atmoko: Masyarakat Kerap Keliru Memandang Primata
Dr. Suci menambahkan, tidak jarang masih ada masyarakat keliru memandang primata. Primata kerap jadi hewan peliharaan sebab dilihat hanya lucu dan pintar saja. Padahal, dengan memelihara primata sama saja dengan mengancam ekosistem hutan.
Dia menyebut edukasi melalui pendekatan lintas disiplin bisa menjadi solusi terkait adanya kekeliruan masyarakat. Salah satunya terkait pemberian informasi masyarakat. Menurutnya, informasi yang disampaikan harus benar-benar mudah dipahami masyarakat.
“Setiap bicara tentang primata saya berusaha bicara populer. Tapi bisa jadi masih terasa berat bahasanya untuk orang-orang. Nah, orang-orang komunikasi harus bisa menerjemahkan itu,” terangnya.
Dr. Suci mengajak masyarakat agar menggunakan media sosial dengan bijak dan positif. Menurutnya, menjadikan primata sebagai hewan peliharaan bukan cara untuk menyelamatkan primata. Apalagi jika memelihara hanya sekadar untuk pamer di media sosial saja.
“Semakin bertambah usia primata dia akan semakin agresif. Kalau mereka ada di rumah kita itu tidak ada fungsinya. Banyak yang awalnya dipelihara akhirnya dibuang sembarangan. Daripada tidak ada fungsinya, mending bantu program konservasi lebih memperkenalkan primata Indonesia agar mereka bisa lestari di alamnya,” jelasnya.
Baca juga: Greg Hambali: Pakar Hortikultura yang Tak Henti Muliakan Tanaman
Dr. Sri Suci Utami Atmoko: Pembangunan Infrastruktur Ancam Habitat Primata
Selain tantangan media, tantangan bagi habitat primata maupun spesies lain adalah dari sektor pembangunan. Menurut Dr. Suci, konflik antara pembangunan dan habitat primata merupakan permasalahan yang menahun.
Sampai saat ini saja, belum ada kesepahaman bersama dalam rencana pembangunan pemerintah khususnya untuk menjaga habitat primata. Alhasil habitat terus menyusut yang berdampak pada terancamnya primata dan sepesies lainnya.
“Dari sisi infrastruktur, orang dari pekerjaan umum (PU) paham tidak sih bagaimana habitat primata itu penting. Bagaimana kalau PU mau bikin jalan itu seperti apa, apakah tidak bisa agar tidak merusak juga habitatnya,” katanya.
Dr. Sri Suci Utami Atmoko Tangkis Stereotip Gender
Dr. Suci menyebut peneliti Indonesia yang fokus terhadap primata asli Indonesia saat ini semakin banyak. Berbeda dengan masa-masa awal dirinya meneliti. Selain peneliti yang minim, jumlahnya juga kalah dengan peneliti asing yang mempelajari primata.
“Itu jadi semangat saya meneliti primata. Dulu juga waktu mulai penelitian orang utan, banyak orang bingung bahkan mengira saya gila,” katanya.
Koordinator Orang Utan Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia (Perhappi) ini menggaungkan bahwa terlahir sebagai perempuan bukan halangan untuk berjibaku meneliti di lapangan. Pasalnya, proses meneliti primata secara langsung di lapangan selalu berkesan dan sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Dia pun kerap menyemangati mahasiswanya –terutama para perempuan– agar tidak ragu dan takut untuk meneliti di lapangan. Menurut pengamatannya di beberapa tempat, rasio peneliti laki-laki dan perempuan saat ini bisa dibilang setara, bahkan perempuan lebih banyak.
“Overall saya tidak mengalami masalah saat meneliti, meski saya berjilbab masih survei bareng cowok-cowok dan saya perempuan sendirian. Enaknya jadi orang Indonesia, orang lain juga menghargai. Tapi, kalau kita tidak mandiri, susah,” pungkasnya.
Biodata Dr. Sri Suci Utami Atmoko
Penulis: Muhamad Ma’rup