Dr. Herlina Agustin sudah lima belas tahun terjun sebagai aktivis satwa dan lingkungan hidup. Peneliti Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Universitas Padjadjaran (Unpad) ini mengaku, aktivitas cinta lingkungannya berawal dari sebuah kesalahan. Kala itu dia dan suaminya memelihara elang hasil perburuan. Satwa yang tertangkap dari hasil perburuan seringkali cacat atau pun sakit, begitu pula dengan elang milik mereka.
“Pintu masuknya adalah sebuah kesalahan. Ketika elang sakit saya mulai belajar banyak tentang satwa. Akhirnya saya mendaftar ke Profauna Indonesia pada 2005,” tutur Dr. Herlina kepada Greeners melalui telekonferensi (10/04/2020).
Walaupun si elang kesayangan akhirnya meninggal karena New Zealand Disease, namun ia berhasil mengendapkan kesan mendalam. Dr. Herlina lalu semakin giat menyuarakan hak satwa. Dia mengingat kenangan pada 2007 ketika dia mengikuti camp Profauna, organisasi non-profit yang bergerak di bidang perlindungan hutan dan satwa liar. Saat itu dia satu-satunya wanita yang usianya paling tua di tengah kawanan mahasiswa. Dr. Herlina pun sempat menjabat sebagai Dewan Penasehat Profauna Indonesia periode 2007 hingga 2019.
Selain aktif di Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Unpad, Dr. Herlina juga tengah menyiapkan buku tentang komunikasi kebijakan konservasi. Dia pun baru saja pulang dari Maluku guna melakukan riset jurnalisme lingkungan.
Baca juga: Koalisi Pejalan Kaki: Kota Beradab Adalah Kota yang Manusiawi
Dr. Herlina Sayangkan Tren Youtuber Pelihara Ular Berbisa
Saat Greeners bertanaya mengenai kesannya tentang Hari Satwa Dunia yang jatuh pada 4 Oktober, Dr. Herlina mengaku merasa sedih. Bagaimana tidak, baru beberapa minggu lalu dia mendengar kabar duka dari seseorang vlogger yang digigit ular berbisa. Dia mengisahkan, almarhum adalah pemelihara ular berbisa Papua, ikaheka. Saat sedang memberi pakan pada ular ikaheka, ular itu malah menerkam tangan almarhum. Almarhum pun berpulang pada hari yang sama.
“Di Indonesia, ada 350 spesies ular; 76nya berbisa. Untuk Indonesia bagian barat, kita hanya punya satu serum anti-bisa ular. Untuk ular dari Indonesia bagian timur anti-bisanya harus diimpor dari Australia. Ikaheka sendiri tidak ada serum anti-bisanya di Indonesia,” jelas Dr. Herlina yang juga aktif sebagai relawan Yayasan Ular Sioux Indonesia.
Lebih jauh, Dr. Herlina menyayangkan tren memelihara ular berbisa yang pembuat konten video Youtube gaungkan. Dia sering mendapati video unboxing ular. Bahkan, dia menemui jamak video unboxing ular derik Amerika dan Gaboon Viper. Padahal, anti-venom dari ular berbisa di atas tidak ada di Indonesia. Belum lagi dokter hewan ahli toksinologi ular berbisa hanya ada di satu di Tanah Air, dr. Tri Maharani di Kediri.
“Itu baru satu (kasus). Di Jakarta banyak ular lepas saat banjir. Bisa jadi hasil peliharaan atau memang satwa yang kehilangan habitatnya. Makanya, hari binatang sedunia ini membuat saya prihatin,” ujarnya yang juga tergabung dalam Grup Snake Bite Accident Indonesia.
Baca juga: Food Sustainesia Ajak Generasi Muda Mengenal Sistem Keberlanjutan Pangan
Dr. Herlina Agustin: ‘Youtuber Satwa Tampilkan Pseudo education’
Menyoroti tren Youtuber yang mengangkat satwa sebagai konten atas nama edukasi, Dr. Herlina menjelaskan edukasi yang mereka gaungkan adalah pseudo education.
“Itu seolah-olah edukasi atau edukasi yang tidak lengkap. Filosofi mereka filosofi ekonomi dengan mengatasnamakan edukasi. Sekarang ini orang yang menonton mereka kebanyakan anak-anak yang suka meniru. Kalau ada apa-apa, seperti kasus gigitan ular karena anak-anak menangkap ular dengan tangan kosong seperti Youtuber pujaannya, mereka tidak mau bertanggung jawab atau disalahkan karena memberi edukasi yang tidak lengkap,” tuturnya.
Dr. Herlina lalu mengingatkan untuk tetap skeptis saat menyaksikan tayangan video satwa para Youtuber. Misalnya, saat melakukan herping atau pencarian reptil. Dari pengalamannya, herping tidak semudah yang para Youtuber tunjukkan. Dia mencontohkan Riza Marlon, fotografer alam liar, yang membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk memotret burung di habitat aslinya. Sangat kontras ketimbang Youtuber yang kejar tayang untuk menghasilkan konten setiap minggu.
Untuk mengedukasi masyarakat tentang satwa, lanjutnya, idealnya Youtuber mengajarkan cara hidup berdampingan serta memperlihatkan bagaimana satwa liar tidak boleh diganggu saat berada di habitatnya.
“Edukasi itu harusnya, mengajarkan masyarakat untuk mempelajari satwa supaya tidak saling ganggu. Sekarang mereka ketemu ular dipengang-pegang, dekat-dekat. Mereka menyentuh hewan sambil berkata ‘jangan dicontoh,ya!’. Kalau ngomong ‘jangan ditiru, ya’ tapi sambil mencontohkan memegang satwa, pasti yang dicontoh penonton ya bagian memegangnya,” jelas Dr. Herlina.
Dr. Herlina Agustine: ‘Five Freedoms of Animal Welfare’ Harus Diutamakan
Di lain sisi, Dr. Herlina juga menyayangkan keabsenan regulasi pemeliharaan satwa serta edukasi satwa untuk awam. Dr. Herlina mencontohkan laporan masayarakat ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) mengenai Youtuber yang memelihara harimau benggala di lingkungan perumahan. Walaupun BKSDA sempat menahan harimaunya, namun akhirnya harus mereka kembalikan ke si empunya. Pasalnya, tidak ada aturan yang menaungi pemeliharaan harimau. Malah, si pemilik harimau benggala itu kini berencana membuat penangkaran harimau.
“Kalau berbicara edukasi yang ideal kita akan bertabrakan dengan industri. Satwa adalah bagian manipulasi alam untuk ekonomi. Contohnya penangkaran dan perburuan di alam liar,” jelasnya.
Masih menilik konten satwa Youtuber, Dr. Herlina menekankan pentingnya menerapkan Five Freedoms of Animal Walfare saat ingin memelihara binatang. Kelima kebebasan satwa itu adalah kebebasan dari lapar dan haus; kebebasan dari ketidaknyamanan; cedera, luka dan penyakit; mengekspresikan perilaku normal; serta kebebasan dari rasa takut dan stres.
Bila Youtuber mencontohkan memelihara binatang di dalam kerangkeng, lanjutnya, tentu itu tidak sesuai karena mengakibatkan satwa stres dan tidak bisa mengekspresikan perilaku normal.
“Pokoknya five freedoms of animal welfare itu yang paling penting,” tegas Dr. Herlina.
Penulis: Ixora Devi