Tumbuh dan berkembang di sebuah kota kecil, asri dan selaras dengan alam di Kabupaten Parigi, Palu, Sulawesi Tengah membuat Chalid Muhammad lebih peka dan peduli dengan alam. Hal itulah yang menjadi bekalnya menjadi aktivis lingkungan.
Jakarta (Greeners) – Karier Chalid bisa terbilang dinamis. Seiring dengan situasi pergolakan sosial politik pada era Orde Baru. Keterlibatannya dalam dunia aktivis bermula saat ia menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah. Saat itu, ia tergabung dalam Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah.
Rencana pembangunan PLTA Lore Lindu sekitar tahun 1989 menjadi awal keterlibatan Chalid dalam advokasi kasus ini. Ancaman pembangunan PLTA bukan saja merusak alam, tapi mengancam dan mampu menenggelamkan empat kampung di sekitarnya.
Jiwa muda idealismenya membuncah. Ia tak gentar menghadapi teror dan intimidasi dari pihak korporasi. Meski pun ia sadar peluang keberhasilan melawan penguasa pada masa Orde Baru sangatlah kecil.
“Justru itu yang membuat bersemangat, sebagai anak muda dikejar-kejar intel malah sesuatu yang menyenangkan,” katanya kepada Greeners, baru-baru ini.
Chalid bahkan terlibat langsung dalam segala kegiatan, mulai dari riset kajian, kampanye hingga advokasi. Proyek PLTA akhirnya batal karena pertimbangan kajian sosial ekologis yang membahayakan wilayah sekitar.
Rela Menyamar Di Tengah Wilayah Berkonflik
Beberapa pengalaman lain yang tak kalah menggetarkannya ia terlibat sebagai penengah konflik suku di wilayah kerja Freeport, Papua. Sebagai aktivis, penyamaran merupakan hal yang harus Chalid lakukan demi masuk ke wilayah Freeport di pedalaman.
Pendiri Institut Hijau Indonesia ini sempat menjadi buronan dan terpaksa sembunyi di warga sekitar hingga nyaris para intel jemput paksa. “Itu pengalaman deg-degan karena harus sembunyi. Tapi di sisi lain mendengar suara intel mencari-cari saya,” imbuhnya.
Beruntung, perang suku akhirnya bisa terhenti setelah ada upaya mengiriman sinyal pada kedua belah pihak untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.
Menurut Chalid, ada sedikit dinamika perbedaan antara pejuang aktivis era 10 hingga 15 tahun yang lalu dengan masa sekarang. Investigasi yang berakhir dengan ancaman pembunuhan, penyuapan, hingga dikatakan teroris dalam salah satu surat kabar luar negeri menjadi makanan sehari-hari aktivis ini.
Namun, sekarang persoalan jauh lebih kompleks dengan munculnya berbagai “aktor” yang berasal dari kekuatan korporasi. Berbagai “aktor” ini dapat mengaburkan kebenaran yang ada.
“Misalnya muncul organisasi lokal yang telah dibentuk oleh perusak lingkungan, atau muncul akademisi yang mereka merupakan tentakel satu korporasi,” ujarnya.
Situasi bertambah kompleks dan menambah tantangan bagi pejuang aktivis lingkungan untuk bisa mematahkan kajian data serta argumen mereka. “Para aktivis harus datang dengan basis argumentasi yang lebih solid. Karena kalau tidak dilegitimasi dengan data bandingan dari pelaku perusakan,” ungkapnya.
Bersyukur Publik Saat Ini Lebih Aware Isu Lingkungan
Namun, di sisi lain Chalid mengaku bersyukur dengan perhatian publik di masa sekarang yang lebih aware terhadap isu lingkungan. Hal ini turut memudahkan bagi aktivis lingkungan untuk mengajak publik dalam advokasi.
Peranan media sosial, sambung dia juga tak kalah penting untuk bisa menggaungkan pejuang aktivis lingkungan. Peranan ini pula yang menjadikan ia aktif mendirikan Institut Hijau Indonesia yang berbasis anak muda.
Chalid sempat menjadi dosen dengan mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ia menjalani ikatan dinas selama dua tahun sebagai konsekuensi menerima beasiswa dari pemerintah. Keadaan di luar membuat Chalid akhirnya merasa terpanggil dan memutuskan berhenti menjadi PNS.
Kritik Chalid yang Tak Pernah Padam
Chalid merasa terpanggil untuk mengadvokasi masyarakat korban pertambangan di Banjarmasin. Hal itulah yang juga melatarbelakanginya untuk mempelajari ilmu hukum pertambangan. Selanjutnya, lelaki kelahiran 1965 ini aktif dalam advokasi pertambangan.
Ia juga sempat bergabung dengan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Ia pun akhirnya menjadi orang pertama yang membawa isu pertambangan ke level nasional dan internasional. Tahun 1994, ia bergabung bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta.
Tepat tahun 2005 hingga 2008, Chalid terpilih menjadi Direktur Eksekutif Walhi. Melalui Walhi, ia kerap mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang tak berpihak pada lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Perjuangannya pada lingkungan hidup tak pernah padam. Saat ini, Chalid pun mengabdi menjadi Koordinator Institut Hijau Indonesia dan sebagai Senior Advisor Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin