Kamera Dirampas
Selama menjalankan profesinya sebagai fotografer alam liar, Alain mengingat dua pengalaman yang cukup berbekas di benaknya. Salah satunya adalah ketika ia berhasil mendapatkan foto badak bercula satu melalui kameranya sendiri. Pengalaman ini ia dapat di Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat (sekarang Provinsi Banten), pada tahun 1986.
Memotret badak bercula satu, menurutnya bukanlah hal yang mudah. Sifat badak yang cenderung pemalu, membuat satwa ini sangat menghindari keberadaan manusia. Hal itu pula yang membuat foto badak bercula satu sangat susah didapat.
“Waktu itu orang bilang badak jawa ini enggak bisa difoto. Ada foto hitam putih dari orang Belanda, dulu tahun 40-an, tapi fotonya masih kurang jelas,” ungkap pria kelahiran 18 Mei 1952 ini.
Butuh waktu bertahun-tahun bagi Alain untuk mendapatkan foto badak bercula satu. Sering kali ia harus mengoleskan daun yang dikencingi oleh badak agar keberadaannya tidak terendus mamalia ini. Namun, pengorbanannya terbayar tuntas setelah ia berhasil memotret satwa langka ini.
Pengalaman Alain ternyata tidak melulu berakhir pada hal-hal yang menyenangkan. Ia pun pernah mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan saat memproduksi sebuah film di Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi.
Kejadian ini terjadi tahun 2002 silam. Saat itu, petugas hutan memberitahukan akan ada operasi penangkapan para pembalak liar. Alain langsung mengiyakan ajakan petugas hutan untuk ikut dalam operasi tersebut.
Di lokasi operasi, sebuah truk berisi muatan kayu datang. Truk pun dihentikan dan diproses di tempat oleh petugas. Di tengah proses itu, tiba-tiba datang dua buah truk berisi ratusan orang dari arah belakang truk petugas hutan. Orang-orang itu, menurut Alain, adalah warga yang diorganisir oleh dalang dari pembalakan liar tersebut. “Orang kehutanan lari pakai truk mereka sampai dikejar sama orang-orang itu, kaca truk sampai dipecahin,” katanya.
Berada di tengah peristiwa yang tidak biasa, Alain justru asyik merekam peristiwa itu. Ia bahkan melakukan wawancara terhadap beberapa orang yang tergabung dalam aksi vandal tersebut.
Namun, amukan massa akhirnya mengarah pada Alain dan asistennya. Barang-barang keperluan syuting pun dirampas dan asisten Alain menjadi sasaran amuk massa. “Mereka maksa ambil kamera saya, sampai si Ali (asisten Alain, Red.) dipukul karena dikira orang kehutanan, sampai giginya patah juga,” ujarnya.
Alain dan asistennya lantas dibawa ke pos polisi oleh orang yang menjadi dalang kerusuhan itu. Sesampainya di pos polisi, bukan rasa aman yang didapat karena amukan massa tidak juga reda. “Waktu itu saya lihat ada mobil dibakar. Saya berpikir pasti kamera saya dibakar,” ujarnya.
Pada akhirnya, semua peralatan Alain dikembalikan, namun Alain menilai peristiwa tersebut sebagai cerminan tentang keadaan Indonesia yang sangat anarkis, di mana hukum dapat dibelokkan dengan uang dan kekuatan massa.
Hutan pun, menurutnya, sudah menjadi tempat atraksi atau pertunjukkan dengan adanya biaya tiket masuk. Ketika mengambil gambar di hutan, sering kali ia harus menghadapi prosedur yang bertele-tele. Tidak jarang oknum petugas hutan membuat proses pemberian izin menjadi lebih panjang dan mengenakan biaya yang mahal.
Alain menyebut bahwa petugas hutan justru lebih mengawasinya, alih-alih mengawasi pembalakan liar atau perburuan hewan di hutan. Sikap para petugas hutan tersebut membuatnya sangat kecewa karena diperlakukan lebih buruk dari para pencuri kayu atau pemburu hewan di hutan.
“Beda kalau ada truk bawa kayu yang lewat, udah dibiarkan. Jadi itulah kondisinya sekarang, saya kesal,” ungkapnya dengan nada kecewa.