(greenersmagz.com) – Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, menunjuk mantan menteri lingkungan hidup Rachmat Witoelar sebagai utusan khusus presiden yang menangani perubahan iklim.
Rachmat Witoelar mengatakan dirinya diangkat menjadi utusan khusus presiden RI untuk perubahan iklim melalui Keppres tertanggal 10 Mei 2010.
Pria yang masih menjabat sebagai Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) itu mengatakan akan bekerjasama dengan Emil Salim yang telah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk permasalahan lingkungan dan Agus Purnomo yang telah ditunjuk menjadi staf khusus Presiden untuk perubahan iklim.
Rachmat menjelaskan staf khusus presiden berfungsi untuk mempersiapkan bahan tentang perubahan iklim kepada presiden, sedangkan Wantimpres bekerja mengkaji masalah dan memberikan masukan kepada presiden.
“Saya menjadi `vocal point` resmi pemerintah. Mereka (dunia internasional) akan menerima saya sebagai utusan khusus resmi sehingga mempunyai bobot lebih untuk memperjuangkan isu perubahan iklim untuk Indonesia,” katanya.
Direktur Program Iklim dan Energi, WWF-Indonesia, Fitrian Ardiansyah mengatakan Rachmat Witoelar bisa lebih leluasa dan lebih kuat dalam negosiasi internasional karena mendapat mandat dari Presiden RI sebagai utusan khusus.
Rachmat sebagai utusan khusus, akan merangkum semua aspirasi sektor di tingkat nasional maupun aspirasi daerah untuk dibawa di forum internasional.
Fitrian mengatakan tetapi hal tersebut juga menjadi tantangan besar bagai Rachmat untuk bisa menyatukan semua kepentingan sektor dan daerah yang berbeda-beda.
Sedangkan Koordinator Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF), Giorgio Budi Indarto justru melihat posisi Rachmat Witoelar sebagai utusan khusus malah memperlemah diplomasi Indonesia di tingkat internasional.
Giorgio melihat posisi Indonesia pada KTT ke-13 Perubahan Iklim di Bali dan KTT ke-15 Perubahan Iklim di Kopenhagen Denmark terlihat sangat kompromistis.
“KTT Perubahan Iklim di Bali dengan `Bali Action Plan` dengan negosiator utama Racmat Witoelar. Dan COP 15 yang dianggap gagal, tetapi kita tetap berasosiasi dengan hasilnya yaitu Copenhagen Accord,” ujar Giorgio.
Giorgio menilai dibawah kepemimpinan Rachmat Witoelar, diplomasi Indonesia untuk perubahan iklim tidak kuat, bahkan cenderung mengikuti kemauan negara-negara maju. (RI)