Jakarta (Greeners) – Demam keong atau Schistosomiasis di wilayah Lindu, Sulawesi Tengah berulang terjadi. Meski ada obat untuk penyakit ini, hanya bisa mengurangi gejala namun tidak untuk menghentikan penyebabnya.
Selain mahal berkisar Rp 300.000- Rp 600.000, obat ini pun belum tentu efektif untuk mencegah timbulnya kembali penyakit endemik yang sudah ada sejak tahun 1937 di wilayah Lindu ini.
Penyakit Schistosomiasis adalah penyakit infeksi cacing parasite trematoda dari genus Schistosoma yang vektor keong Oncomelania hupensis lindoensis tularkan.
Cacing dewasa ini hidup di dalam pembuluh darah di dalam hati dan usus manusia. Pengidap Schitosomiasis akan mengalami rasa gatal, demam, anemia berat, malnutrisi dan kesulitan mengolah informasi. Pada infeksi akut, parasit dapat merusak hati, usus, limpa dan kandung kemih hingga berujung kematian.
Penularan terjadi ketika kontak langsung dengan air habitat keong Oncomelania hidup. Keong ini membawa larva infektif serkaria. Kemudian serkaria Schistosoma masuk melalui kulit, tumbuh menjadi cacing dewasa dan menyebabkan penyakit.
Cari Senyawa Aman untuk Demam Keong
Dua pelajar dari SMA Al Azhar Mandiri, Palu, Sulawesi Tengah yakni Moh Rey Algivary dan Annisa Rahmawati berhasil menemukan senyawa dari ekstrak ubi karet (Manihot glaziovii) untuk membasmi vektor penyakitnya.
Sampai dengan saat ini Pemerintah Sulawesi Tengah melakukan berbagai cara untuk menghilangkan penyakit ini. Apalagi wilayah sebaran penyakit dekat dengan lokasi wisata. Treatment yang ada saat ini tidak ada yang efektif mengeleminasi penyakit.
“Kami mengembangkan ekstrak ubi karet. Tanaman ini hanya ada di dataran tinggi sekitar hutan dekat permukiman dan jumlahnya juga langka,” katanya saat Greeners temui di InaRI Expo Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), baru-baru ini.
Karya inovasi Rey dan rekannya ini masuk salah satu peserta Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang BRIN gelar bersamaan dengan InaRI Expo 2022.
Ray menjelaskan, tahun 2015 ada penelitian dari peneliti di Palu menggunakan ekstrak biji jarak merah untuk memberantas keong Schistosoma japonicum tersebut. Meski berhasil tapi bersifat toksik pada manusia dan hewan.
“Bisa menyebabkan kematian, iritasi kulit, gatal dan berbahaya jika terhirup,” ucapnya.
Efektif 90 Persen Eliminasi Keong
Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah tahun 2013-2015 melalukan pemeriksaan masyarakat di daerah Lindu. Dari 9.329 orang yang dinas periksa terdapat 1.120 orang positif penyakit Schistosomiasis dengan angka prevelensi 12,1%.
Dari situ dengan bimbingan guru pendamping, Rey dan tim akhirnya mencari alternatif dari tanaman family Euphorbiaceae. Tanaman ini tim yakini memiliki molustisida tinggi dan bisa membunuh hama seperti keong dan ulat dengan konsentrasi yang aman.
Untuk menghasilkan senyawa tersebut, tim memarut halus ubi karet lalu dimaserasi (rendam) dengan methanol TA 99,83 % selama 3×24 jam. Perendaman ini agar senyawa aktif (metabolit sekunder) di dalamnya keluar. Senyawa tersebut menghasilkan Sianida dengan kadar aman 100 Ppm.
Sebelumnya ada senyawa akhir, tim lakukan pemilahan/pemisahan ekstrak dan zat pelarut. Tujuannya mendapatkan ekstrak kental dengan rotery evaporator. Nantinya senyawa kental itu tidak lagi mengandung senyawa pengganggu dan hanya tersisa sianida saja.
Kemudian diuji coba ke keong yang ukurannya sekitar 20 mm. Zat diteteskan dengan pipet ke keong dengan interval 4 jam selama 16 jam.
Keong ini senang di tempat lembap seperti persawahan dan pengairan. Tim mengambil sampel keong dari persawahan dengan alat pencapit.
“Tingkat efektivitasnya tinggi mencapai 90 % sehingga efektif mengeleminasi dan bisa untuk penanggulangan,” tutur Rey.
Dari penelitiannya ini Rey dan tim berharap, Pemerintah Sulawesi Tengah mengembangkan inovasi mereka. “Harapannya bisa membantu solusi medis dengan mengeleminasi vektor,” imbuhnya.
Riset Rey tim ini akhirnya berhasil meraih Special Award BRI di ajang LKIR ke-54 Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati BRIN 2022.
Penulis/Editor : Ari Rikin