(Greeners) – Sampah styrofoam menjadi salah satu sampah yang paling banyak ditemukan di tempat pembuangan akhir (TPA). Seperti di daerah Benowo, Surabaya, sampah kemasan styrofoam yang ditemukan di TPA mencapai 1.000 ton per harinya. Sifat enceng gondok yang dapat berkembang biak dengan cepat juga sering sekali menyumbat aliran sungai sehingga berpotensi menyebabkan banjir.
Melihat fenomena ini, Suprihatin dan Siti Nur Kholisah, siswi kelas XII SMAN 1 Kedungpring, Lamongan melakukan eksperimen untuk memanfaatkan enceng gondok. Mereka membuat sebuah kemasan alternatif pengganti styrofoam yang terbuat dari tanaman eceng gondok atau enceng gondok (Eichhornia crassipes) yang banyak ditemukan di daerah Lamongan, Jawa Timur. Kemasan inovatif ini mereka namakan Biofoam Engkong.
“Kami mengetahui bahwa sampah styrofoam sangat mencemari lingkungan dan juga berdampak buruk untuk kesehatan manusia,” ujar Siti kepada Greeners saat ditemui di pameran Indonesia Science Expo (ISE) 2018, Serpong pada awal November lalu.
Lebih lanjut Siti menjelaskan, umumnya proses pembuatan styrofoam dilakukan dengan mencampurkan bahan utama berupa stirena dengan bahan lain yaitu seng dan butadiene. Untuk meningkatkan kelenturan kemasan tersebut ditambahkan zat plasticizer seperti dioctyl phthalate (DOP).
“Styrofoam kurang baik digunakan untuk mengemas produk makanan atau minuman karena adanya kemungkinan terjadi migrasi bahan kimia yang terkandung dalam kemasan ini ke dalam makanan atau minuman tersebut. Migrasi ini dipengaruhi oleh suhu, lama kontak dan tipe pangan. Semakin tinggi suhu, lama kontak dan kadar lemak suatu pangan maka migrasinya juga akan semakin besar,” kata Siti.
Dari hasil penelitian dan percobaan Suprihatin dan Siti, keduanya menemukan bahwa serat dan pati enceng gondok cocok diolah menjadi bahan wadah makanan. Enceng gondok mengandung serat selulosa yang melimpah pada batangnya. Tanaman ini juga bukan tanaman musiman, dan perkembangbiakannya secara generatif maupun vegetatif dengan kecepatan tumbuh 3% setiap hari membuat tanaman ini mudah diperbanyak. Dalam proses pembuatannya, Biofoam Engkong menggunakan pati singkong yang dimanfaatkan sebagai bahan perekat.
“Kami hanya mengambil bagian batangnya saja lalu kami keringkan selama 3 hari. Eceng gondok yang telah dikeringkan lalu dihaluskan dengan blender hingga berukuran partikel 60 mesh, setelah itu disaring dan dicampur dengan tepung singkong. Adonan itu kemudian dicetak lalu dimasukan ke dalam oven listrik selama 2 jam pada temperatur sekitar 70°C,” kata Siti menjelaskan.
Lebih lanjut Suprihatin dan Siti menjelaskan bahwa selain menguji material yang dapat terurai di alam (biodegradable), mereka juga melakukan uji coba jumlah zat padat terlarut (TDS) dan pH pada kemasan Biofoam Engkong. Semua pengujian ini dilakukan di Dinas Kesehatan Lamongan. Percobaan tersebut dilakukan untuk membuktikan agar kemasan enceng gondok ini aman dipakai sebagai wadah makanan dan tidak berbahaya bagi tubuh manusia.
“Jumlah zat padat terlarut pada kemasan ini adalah 154mg/liter. Menurut peraturan Kementerian Kesehatan jumlah TDS maksimal 500, dikarenakan (Biofoam Engkong) kita dibawah 500, jadi Biofoam Engkong masih aman untuk dipakai sebagai wadah makanan maupun minuman. Kita juga melakukan uji coba pH dan uji sianida yang ada pada singkong. Hasilnya tidak ada pengaruh asam pada makanan dan hasil uji sianida pada singkong pun nilainya nol, yang berarti tidak berpengaruh pada makanan,” kata Suprihatin.
Siti mengungkapkan bahwa saat ini mereka belum memiliki thermopressing (mesin yang biasa dipakai untuk mencetak kemasan styrofoam). “Kami belum punya thermopressin sehingga kami masih menggunakan piring atau gelas sebagai wadah cetakan sementara,” katanya.
Pihak sekolah sangat mendukung inovasi yang dilakukan oleh Suprihatin dan Siti. Kedepannya kedua siswi ini berencana akan membeli thermopressing agar kemasan Biofoam Engkong lebih menarik untuk dijual dan dapat diproduksi dalam jumlah banyak. Mereka juga ingin memperbaiki perwarnaan produk agar terlihat lebih menarik untuk disosialisasikan kepada masyarakat.
“Kalau kemasan kami sudah bagus kami ingin bekerjasama dengan tim ahli untuk memproduksi Biofoam Engkong dengan kuantitas yang lebih banyak. Harganya pun relatif lebih murah dibandingkan harga styrofoam umum. Setelah diperhitungkan tiap harinya kami bisa mencetak 33 Biofoam Engkong. Kami bisa menjual satu biofoam engkong seharga 100 rupiah, satu styrofoam yang biasa saja harganya berkisar antara 300 sampai 700 ratus rupiah,” kata Suprihatin.
Selain dapat memproduksi dalam skala besar, harapan dari kedua siswi yang berhasil memamerkan inovasinya di ISE 2018 ini adalah agar inovasi kemasannya bisa menjadi solusi kemasan ramah lingkungan dan mampu mengurangi permasalahan limbah styrofoam yang ada di Indonesia.
Penulis: Sarah R. Megumi