Saat ini proyek pembersihan laut dari polusi plastik sudah banyak dilaksanakan. Namun, mayoritas pembersihan hanya dilakukan di permukaan laut saja. Sampah plastik yang berada di permukaan laut bagaikan ‘puncak gunung es’ yang terlihat besar. Padahal, ada bagian yang lebih besar di bawah puncak gunung es itu. Melansir Intelligent Living, tidak kurang dari 66 juta ton sampah memenuhi samudra. Sekitar 94 persen sampahnya berada di dasar laut.
Lebih jauh, proyek yang melakukan pembersihan sampah dari dasar laut ini disebut SeaClear. Sebelum melakukan proyek pembersihan dasar laut, SeaClear mulanya menangani daerah pesisir. Terutama lokasi dengan polusi berat seperti daerah sungai yang membawa sampah dari pemukiman penduduk ke laut.
“Sejauh ini, upaya pengumpulan sebagian besar difokuskan pada sampah di permukaan, dengan sedikit upaya untuk mengumpulkan sampah di dasar laut. Selain itu, pengumpulan sampah selalu menggunakan penyelam. Tidak ada solusi mengeksploitasi robot untuk pengumpulan sampah di permukaan. SeaClear akan menjadi yang pertama untuk mengembangkan,” ungkap perusahaan dalam situs SeaClear.
SeaClear didanai oleh Horizon 2020. SeaClear sendiri merupakan akronim dari Search, Indentification and Collection of Marine Litter with Autonomous Robots. Proyek ini berlangsung sejak 1 Januari 2020. Proyek yang bekerjasama dengan delapan mitra dari negara-negara Eropa ini akan berlangsung selama empat tahun. SeaClear secara aktif melibatkan ilmuwan, pemangku kepentingan publik dan industri, serta pusat inovasi digital.
Baca juga: Lampu Hias Cantik dari Limbah Spanduk
Gunakan Teknologi Robot, SeaClear Pangkas Biaya Sewa Penyelam
SeaClear menggunakan berbagai teknologi robotik yang saling terhubung. Sistem ini terdiri dari kapal induk otonom yang dapat dikendalikan dari jarak jauh yang didukung oleh robot bawah air maupun drone. Kedua robot bawah air ini mendapatkan aliran listrik dari kapal induk.
Drone dan robot bawah air bertugas memetakan air, membedakan polusi dari flora dan fauna laut melalui algoritma dan sensor akustik. Robot lainnya bertugas mengumpulkan limbah yang terdeteksi menggunakan gripper dan alat penghisap yang dirancang khusus. Sampah yang dikumpulkan kemudian dibuang ke tempat sampah kolektif yang terletak di permukaan bejana.
Setiap robot terhubung satu sama lain, sehingga jika salah satu robot berubah posisi maka robot lain akan tahu dan beradaptasi. Selain saat memasukkan perintah awal, proses SeaClear tidak memerlukan campur tangan manusia. Teknik ini disebut dengan metode pengendalian multi-agen.
“Tujuan kami adalah untuk mengoperasikan robot secara mandiri tanpa campur tangan manusia dari jarak jauh. Untuk itu kami merencanakan pengembangan baru dalam pemetaan puing, klasifikasi, dan kontrol robot,” ungkap perusahaan.
Proyek SeaClear bertujuan mendeteksi dan mengklasifikasikan sampah bawah laut dengan tingkat keberhasilan 80 persen dan mengumpulkannya dengan tingkat keberhasilan 90 persen. Penggunaan sistem ini memangkas 70 persen ongkos bila dibandingkan menggunakan penyelam.
Sistem SeaClear sudah diuji di sepanjang pantai Dubrovnik, Kroasia dan Pelabuhan Hamburg, Jerman. Lokasi pengujian dipilih karena memiliki kondisi dan situasi yang berbeda. Pelabuhan merupakan kawasan industri yang sibuk dan airnya keruh sedangkan pantai merupakan tempat wisata dengan air yang tenang dan jernih. Pengujian lebih lanjut yang seharusnya sudah dijadwalkan harus dibatalkan akibat adanya pandemi virus corona.
Penulis: Mega Anisa
Editor: Ixora Devi