Jakarta (Greeners) – Ketahanan pangan saat ini menjadi isu penting yang digaungkan masyarakat dunia, lahir dari keprihatinan rusaknya lingkungan dan kondisi bumi yang semakin kritis. Pertambahan penduduk yang pesat dan tingginya kebutuhan pangan berbanding terbalik dengan ketersediaannya.
Ancaman kekurangan pangan semakin jelas di depan mata. Oleh karena itu, Badan Dunia untuk Lingkungan (UNEP) menyoroti pangan sebagai tema Hari Lingkungan Hidup (HLH) 2013 yaitu think.eat.save. Kampanye global HLH tentang makanan ini didasari atas kenyataan bahwa setiap tahun ada satu miliar ton makanan terbuang percuma menurut data UNEP.
Kampanye think.eat.save yang didukung Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) berkeinginan untuk mengurangi kehilangan makanan pada seluruh rantai produksi pangan dan konsumsi, dan secara khusus menargetkan pengurangan makanan yang terbuang oleh konsumen, pengecer dan industri perhotelan.
Direktur Eksekutif UNEP Achim Steiner mengatakan penduduk dunia akan berkembang dari tujuh miliar orang saat ini, menjadi sembilan miliar orang pada tahun 2050. Maka membuang-buang makanan menjadi hal yang tidak etis, tidak masuk akal baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan.
Saat ini jumlah penduduk dunia mencapai tujuh miliar dan diperkirakan pada 2020 menjadi sembilan miliar, dengan bertambahnya jumlah penduduk itu akan menyebabkan jumlah limbah yang terus meningkat.
Limbah yang besar itu jika tidak dikendalikan dengan baik dapat mengibatkan kerusakan lingkungan, emisi gas rumah kaca, pemanasan global, dan masalah lingkungan lainnya. Limbah itu dihasilkan mulai dari berlangsungnya proses produksi dan konsumsi yang tidak efisien menyebabkan produksi juga yang terus-menerus.
Kekhawatiran itu juga dirasakan Prilla Tania, seniman yang lewat karya-karyanya menyuarakan ajakan dan membangkitkan kesadaran akan pentingnya masalah pangan.
Prilla mempersembahkan karyanya dalam pameran tunggal bertajuk “E” yang digelar di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jawa Barat, pada 19 April hingga 11 Mei lalu. Karya-karya seni hasil keterampilan perupa lulusan Studio Patung Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu menggunakan berbagai media seperti instalasi, video dan mural.
“Sudah dua tahun terakhir ini karya saya fokus ke masalah pangan karena saya pikir ini persoalan menarik dan ada masalah disitu,” ujar perupa kelahiran Bandung tersebut. Karyanya cenderung sederhana dan bukan abstrak agar mudah dimengerti bahkan oleh anak-anak sekalipun sehingga pesannya tersampaikan.
Menjadi “Trigger”
Ide besar dari karyanya berawal dari pemikiran mengenai sampah. Namun setelah dipikirkan dengan matang, sampah hanyalah akhir dari sebuah proses konsumsi. “Karya-karya saya sederhana, awalnya masalah sampah dan energi tapi pemenuhan energi manusia yang dasar sekali adalah makanan. Sebagian besar makanan kita masih impor dan harus diproses,” jelas Prilla.
Lewat materi kertas dan narasi-narasi kecil, karya-karyanya menampilkan bagaimana persoalan pangan memiliki relevansi yang erat dengan masalah energi. Misalnya dalam sebuah karyanya, Prilla menunjukkan bagaimana proses sofistikasi produksi dan konsumsi pangan melibatkan penggunaan energi yang besar seperti pada industri pertanian, pengemasan, distribusi dan praktik pertambangan.
Meskipun selintas dianggap sebagai masalah sederhana, namun menurutnya sangat kompleks karena membentuk ekosistem berkesinambungan. Disinilah pentingnya perubahan perilaku tidak konsumtif dan memanfaatkan bahan pangan yang ada di sekitar kita. Ajakan Prilla untuk lebih peduli masalah pangan bukan hanya sebatas pada karya seninya semata, tapi juga diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Prilla memulai dengan mengurangi makanan impor. Dia mengaku sudah sekitar sepuluh tahun tidak mengkonsumsi mie instan. “Saya mengurangi bahkan saat ini berusaha tidak mengkonsumsi makanan berbahan dasar gandum karena masih impor. Kesadaran untuk memilih pangan tidak serta merta dan awalnya lebih kepada alasan kesehatan,” tambah dia.
Selain mengurangi makanan impor termasuk buah karena ia lebih memilih mengkonsumsi buah lokal, Prilla juga memilih berbelanja di pasar tradisional untuk mendapat produk pangan segar dan hasil tanaman petani lokal. Begitu juga dengan air mineral, ia berusaha tidak meminum air dalam kemasan karena kemasan plastiknya akan menambah jumlah sampah. Termasuk mengurangi makanan kemasan.
“Saya hanya makan seperlunya. Saya pikir dengan makan seperlunya tidak akan menghasilkan sampah dan itu juga langkah menghemat energi,” jelas Prilla. Melalui pameran tunggalnya, Prilla mengharapkan bisa membangkitkan ingatan dan menjadi “trigger” bagi orang-orang bahwa masalah pangan merupakan persoalan besar yang akan dihadapi semua orang. “Pameran ini hanya ingin mengingatkan orang-orang yang sebenarnya sudah tahu tapi penganggap itu bukan masalah,” ujar dia.