Pable merupakan perusahaan rintisan Tanah Air yang mencoba untuk memberi kesempatan hidup kedua bagi pakaian.
Fashion industry adalah salah satu industri paling berpolusi karena menyumbang 10% dari total emisi karbon secara global. Belum lagi banyaknya sampah hasil industri manufaktur yang biasa kita sebut sebagai pre-consumer waste dan sampah hasil pola konsumsi masyarakat atau post-consumer waste.
Menumpuknya sampah juga berkaitan dengan banyak orang yang masih menganut konsep ekonomi linear sejak revolusi industri. Model konsep ini memiliki proses berupa ‘mengambil, membuat, membuang’. Alias mengambil bahan mentah dari alam, membuatnya menjadi produk, kemudian setelah masa penggunaan, produk dibuang sebagai sampah. Oleh karena itu, semakin sering model ekonomi ini diaplikasikan, semakin banyak pula sampah yang dihasilkan.
Konsep ekonomi linear ini sepaket dengan konsekuensi lain seperti penggunaan energi bahan bakar fosil secara besar-besaran, upah minim bagi tenaga kerja pada tahap produksi, dan dampak buruk sampah bagi lingkungan kita.
Untuk mengatasinya, Pable hadir dengan gerakan tagar We are Circular. Mereka mengusung konsep ekonomi sirkular yang membiasakan konsumen bersikap restoratif dan regeneratif.
Konsep ini mengubah proses take-make-waste dari ekonomi linier dengan mendaur ulang sampah atau limbah, melestarikan produk dan bahan agar dapat terus digunakan, dan membarui alam. Sehingga, dengan menggunakannya, sampah dapat terkontrol, memperpanjang umur produk, dan membantu bumi untuk pulih kembali.
Pable merupakan solusi berkelanjutan yang menyediakan layanan pengelolaan limbah tekstil yang bertanggung jawab. Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah sampah tekstil dengan cara memprosesnya kembali menjadi barang yang bermanfaat.
Terinspirasi dari Prato, Italia
Pable sendiri terinspirasi dari terbentuknya sistem sirkular yang sempurna di sebuah kota kecil di Italia, yaitu Prato.
“Semua masyarakatnya terlibat, negaranya pun terlibat, sehingga mereka bisa melakukan proses recycle dari material post-consumer waste,” ujar Aryenda Atma, Founder dan Creative Director Pable.
“Banyak juga brand-brand besar di luar sana yang melakukan hal yang sama. Seperti patagonia, the new denim project, industry of all nations. Mereka melakukan sistem sirkular yang sangat baik dan bisa menjadi benchmark buat kita semua, bahwa recycling itu sangat mungkin dilakukan di industri tekstil ataupun industri fashion. Jadi pable pun juga mengadopsi hal yang sama seperti apa yang mereka lakukan, supaya bisa diterapkan di Indonesia,” tambah Atma.
Menggunakan Model Closed-Loop
Mereka mengadaptasi proses sirkular dengan closed-loop model. Proses logistik ini mengubah sampah menjadi sumber daya. Melihat sampah sebagai bahan mentah yang merupakan objek paling berharga dari sebuah produksi. Siklusnya tidak berawal dari virgin material atau primer, namun mengumpulkan sampah, memprosesnya menjadi secondary material.
Pembuatan kain daur ulang dari pable melalui 8 tahapan yang terus memutar yang berawal dari desain produk. Setelah itu memproses material mentah yang merupakan sampah pakaian. Kemudian produksi serat, pembuatan garmen, mendistribusikannya, menjualnya, konsumen memakainya.
Namun tidak berhenti di situ, mereka juga menambahkan tahap recovery, yang mana mereka mengajak konsumen untuk memperbaiki terlebih dulu busana mereka untuk memperpanjang umur pakainya. Tidak buru-buru membuangnya ketika ada bagian yang rusak. Setelah pakaian benar-benar tidak ‘tertolong’, daur ulang solusinya. Ekosistem ini akan melibatkan berbagai kalangan dari produsen hingga konsumen.
Jargon made to be made again yang mereka gaungkan bukan hanya memiliki target untuk mereduksi jumlah sampah tekstil. Tetapi juga memperpanjang siklus hidup produk dengan proses daur ulang.
Mereka bisa mengolah sampai 99% material. 1% nya berupa debu yang sudah tidak bisa lagi tertangkap dengan dust detector yang mereka miliki. Sedangkan debu-debu yang masih bisa tertangkap dust detector, mereka alihkan ke desa-desa yang membuat kasur kapuk. Sehingga bisa digunakan sebagai filler.
Pable Tidak Melakukan Pewarnaan Ulang
Ketika mendaur ulang sampah ataupun membuat kain dari benang yang mereka proses, pable tidak lagi melakukan proses recoloring. Warna-warna kain asli dari warna sampahnya.
Atma mengatakan, kalau mereka mau membuat kain warna orange, ya mesti mengolah sampah warna orange. Itulah fungsinya mereka sorting di awal.
“Harap maklum kalau misal produksi kain warna merah hari ini bisa jadi sangat berbeda dengan produksi kain warna merah kami berikutnya. Karena tentu saja itu akan berhubungan dengan source sampah yang kita punya. Recycle itu banyak banget trickynya,” tambah Atma.
Respon dari Berbagai Kalangan
Mereka pun mendapatkan respon baik dari banyak kalangan, mulai dari pelaku industri fesyen, arsitek dan interior serta komunitas. “Pable tercipta karena adanya purpose driven yang baik. Kami percaya bahwa endingnya pun juga akan baik,” kata Atma.
Dengan bisnis mereka yang berhubungan dengan environmental impact, mereka merasa pable tidak bisa bergerak sendiri. Mereka membutuhkan banyak pihak untuk berkolaborasi.
“Supaya masyarakat pun bisa teredukasi dari semua kalangan. Tentang apa yang dilakukan oleh pable, dan tujuan kami untuk memberikan kehidupan baru bagi sampah tekstil itu bisa diterima secara menyeluruh,” ujar Atma.
Mereka pun sudah melakukan kolaborasi pertamanya dengan Sejauh Mata Memandang. Sejauh Mata Memandang berkomitmen untuk mengganti 30% dari material yang selama ini mereka gunakan dengan material pable.
“Untuk menghasilkan 1000 meter kain, kita butuh setidaknya 181 kilo benang. Artinya, 181 kilo benang itu bisa kami proses kalau kita punya sekitar 200 kilo sampah. 1000 meter kain equal dengan sekitar 200 kilo sampah. 200 kilo sampah equal dengan 1400 pieces baju.”
“Jadi, untuk bisa membuat 1000m kain, mereka butuh 1400 pieces baju. Satu piece baju saja berkontribusi dalam penggunaan air sekitar 2700 liter. Jadi bayangkan impact yang sudah diberikan oleh Sejauh Mata Memandang dengan menggunakan kain recycle dari Pable itu seperti apa,” jabarnya.
Pable Baru Menerima Pre-Consumer Waste
Untuk saat ini, Pable hanya menampung limbah pre-consumer dari manufaktur ataupun dari konveksi. Sebab, proses pengelolaan pre-consumer waste itu sedikit lebih singkat daripada ranah post-consumer waste. Proses pengelolaan pre-consumer waste, mulai dari sorting warna, jenis, kategori materialnya. Setelah itu memprosesnya untuk menjadi fiber ataupun benang. Sedangkan kalau post-consumer waste atau menerima sumbangan kain, baju atau gorden yang tidak terpakai, ada detail-detail yang harus mereka perhatikan.
“Kancing, kerah baju, resleting, itu tidak bisa di-recycle. Kami juga harus memikirkan bagaimana mendistribusikan barang-barang yang tidak bisa kami recycle ini ke orang-orang yang lebih bertanggung jawab,” tutur Atma.
Mereka berharap, dalam 1 sampai 2 tahun ke depan, mereka sudah bisa menerima limbah rumah tangga.
Kain Pable, Produk Penenun Desa di Jawa Timur
Pable juga baru saja merilis produk-produk kain karya para penenun di Jawa Timur. Tipenya ada dua. Ada ukuran benang 12s yang lebih tipis, dan juga 1s untuk benang yang lebih tebal.
Yang unik dari kain pable, yaitu adanya tekstur atau serat benang warna lain, misalnya di kain warna putih. Itu karena saat proses sorting berdasarkan warna, pasti ada warna lain yang terselip. Namun itu yang menjadi karakteristik dari kain recycle.
Selain keunikan warna, penenun juga menempuh cara konvensional dengan hand-weaving. Itulah alasan mengapa karakter setiap benang tidak pernah sama dan memengaruhi tampilan dari keseluruhan produk. Sehingga ada nilai istimewa dalam produknya.
Penggunaan kain pable bisa untuk berbagai fungsi. “Bisa digunakan untuk produk lifestyle seperti baju, bisa digunakan untuk kebutuhan home and decor kalian juga,” cakap Atma.
Selaras dengan Pola Konsumsi Masyarakat
Berjalannya pable pun juga harus beriringan dengan pola konsumsi masyarakat. “Bukan berarti dengan adanya pable yang bisa mendaur ulang sampah tekstil ini manusia menjadi feel free to consume more and more. Kami tidak ingin kayak begitu. Jadi tetap bijaklah dalam membeli ataupun mengonsumsi sesuatu,” ucap Atma.
Harapan Pable di 2021
Mereka merangkumnya dengan The Four Ps of the Future, yang adalah Profit, People, Planet, Purpose plus 1, Pable. Mereka tentu mengejar profit, tetapi yang sehat dan positif untuk bisnisnya. Ada harapan memuaskan keinginan user dengan model bisnis berkelanjutan.
Selain itu, mereka juga mendambakan kolaborasi, dengan kreator-kreator kreatif yang juga ingin menempuh bisnis peduli lingkungan. Pable juga terbuka bekerja sama dengan komunitas-komunitas.
Mereka juga peduli dengan planet, dengan mengelola sampah-sampah tekstil lewat daur ulang. Makin banyak produksi yang mereka lakukan, makin sedikit dampak buruk bagi lingkungan.
Tak hanya itu, mereka juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan mengumpulkan dan mendaur ulang sampah tekstil. Supaya ada perspektif baru akan produksi, distribusi, dan konsumsi produk yang lebih berkelanjutan. Pable sendiri merupakan wujud implementasi dari sistem sirkular yang selaras dengan 4 Ps.
Baca juga: Belajar dari Kota Prato, Pusat Daur Ulang Pakaian di Italia
Harga Kain Pable
Kisaran harga kain pable mulai dari Rp 59.850,- per meter sampai Rp 67.750,- per meter. Ada edisi sekir abu kelir, sekir putih puyeh, dan malet yang memiliki lebar 70cm. Sedangkan sekir merah dan sekir hitam yang berukuran lebar 96cm.
Penulis: Agnes Marpaung.
Sumber: