Perusahaan perangkat lunak, Koltiva, mengembangkan aplikasi pendataan perkebunan hingga memberikan pelatihan bagi petani. Hingga kini Koltiva memiliki empat aplikasi seluler untuk mendukung praktik perkebunan berkelanjutan di Indonesia. Perangkat tersebut antara lain FarmCloud, FarmRetail, FarmXtension, dan FarmGate.
Chief Operating Officer Koltiva, Ainu Rofiq, menuturkan, peralatan (tools) tersebut menyediakan fitur ketertelusuran (traceability) yang menjadi salah satu fondasi untuk mencapai pertanian berkelanjutan.
“(Praktik) Sustainability adalah salah satu napas kita dan yang kita lakukan semuanya mengarah ke sana,” ucap Ainu Rofiq, saat wawancara dengan Greeners, Senin, (9/8/2021).
Perusahaan teknologi pertanian terintegrasi yang terbentuk sejak 2013 ini melayani berbagai perusahaan lokal hingga multinasional. Saat ini Koltiva telah beroperasi di 30 negara termasuk Indonesia.
Mengenal Aplikasi Koltiva
Aplikasi yang memakai ekosistem berbasis awan ini berguna untuk mengelola beragam komoditas. Misalnya, kakao, karet, kopi, kelapa sawit, rumput laut, dan lainnya. Aplikasi ini juga terdiri dari dua pengguna, yakni petani dan pedagang.
Menurut Ainu, fitur-fitur di aplikasi berfungsi untuk merekam aktivitas petani. Mulai dari membeli bibit, pupuk, dan pestisida, hingga bertransaksi dengan pedagang untuk menjual hasil tanam. “Sehingga petani bisa mendapatkan informasi yang ada data profilnya,” ujarnya.
Dalam pendataan, Koltiva tak hanya mencatat luas lahan, jumlah dan umur tanaman, penggunaan pestisida maupun pupuk, tetapi juga titik sistem pemosisi global (GPS). Data tersebut selanjutnya terekam dalam aplikasi yang bertumpang susun (overlay) dengan peta taman nasional, hutan lindung, dan hutan sosial.
“Dengan peta itu, kita bisa tahu lokasi petani ini apakah di kawasan ilegal atau legal. Karena itu menjadi salah satu syarat sertifikasi,” kata dia.
Jika kebun petani berada di area hutan lindung, kata Ainu, mereka tidak bisa didaftarkan ke program sertifikasi.
Kendati aplikasi Koltiva berjalan secara luar dan dalam jaringan (offline-online), koneksi internet masih menjadi kendala di lapangan. Menurutnya, jika jangkauan internet bisa lebih luas, penetrasi ponsel cerdas (smartphone) akan lebih baik.
Pelatihan dan Sertifikasi bagi Petani
Koltiva juga mengembangkan modul-modul pelatihan untuk para petani. Jenis penatarannya berupa cara penyemprotan pestisida, penanaman, perawatan, sampai panen yang baik. Semuanya terekam dalam aplikasi dan terdata setiap tahun.
“Ada Content Management System yang bisa terus diakses oleh petani,” ucap Ainu.
Ia menuturkan pihaknya membantu petani ataupun pedagang, koperasi, dan perusahaan untuk mendapatkan standar sertifikasi yang berlaku secara global. Standar sertifikasi tersebut salah satunya dari aliansi hutan hujan (Rainforest Alliance), sebuah badan sertifikasi yang mengusung konsep pertanian lestari.
“Kita menyampaikan training good agricultural practices dan standar-standar yang ditetapkan oleh lembaga sertifikasi,” ujarnya.
Dengan adanya petani yang mengikuti program sertifikasi, kata Ainu, mereka mendapat sejumlah manfaat. Selain mendapat bonus dari produk yang terjual, petani juga mendapatkan pendampingan dari Koltiva atau kliennya yang memiliki ilmu pertanian tentang praktik produksi dan pengelolaan tanah (agronomi).
“Salah satu aspek dari sustainability adalah dengan melakukan sertifikasi. Jadi, profit, people, palnet,” ucapnya.
Saat ini petani yang terdaftar di sistem Koltiva mencapai 345 ribu orang. Tahun ini targetnya sebanyak 500 ribu petani. “Target kita yang utama bukan jumlah klien, tapi jumlah petani,” katanya.
Penulis: Ida Ayu Putu Wiena Vedasari
Baca juga: Krakakoa, Menjaga Batas Tanam Kakao dengan Platform Pelacakan
Baca juga: 4 Aplikasi Untuk Gaya Hidup Berkelanjutan