Permintaan energi kian meningkat mengingat pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang semakin tinggi. Pembakaran bahan fosil untuk kebutuhan energi seperti batu bara, minyak, dan gas menjadi sumber terbesar bagi emisi karbon dioksida (CO2). Untuk itu perlu inovasi baru untuk mengurangi emisi CO2. Salah satunya adalah biofuel, bahan bakar hayati.
Muhammad Hanif dan Dian Purwitasari Dewanti dalam jurnal Teknologi Lingkungan Pusat Teknologi Lingkungan (PTL) mengungkapkan mikroalga menjadi kandidat bahan baku energi terbarukan karena memiliki efisiensi yang lebih tinggi dalam fotosintesis, kemampuan produksi biomassa yang lebih tinggi. Hal ini mengingat pertumbuhannya yang lebih cepat ketimbang tanaman energi lainnya. Mikroalga juga memenuhi syarat untuk menjadi bahan baku berkelanjutan dan berpotensi menghasilkan produk hilir yang berharga. Flora ini hanya memerlukan karbon dioksida dan mineral untuk pertubumbuhannya. Kondisi iklim di Indonesia pun sesuai untuk budidaya tanaman ini.
“Mikroalga merupakan sumber daya energi yang berkelanjutan yang memiliki potensi besar dalam mitigasi karbon dioksida emisi. Inovasi teknologi konversi mikroalga menjadi biofuel masih menjadi tantangan yang perlu difokuskan untuk memastikan tingkat kestabilan produksi pada skala besar dengan keseimbangan energi yang baik,” ungkap Hanif dan Dewanti dalam artikel Perancangan Proses Konversi Mikroalga menjadi Biofuel sebagai Inovasi Teknologi Ramah Lingkungan.
Baca juga: Mahasiswa Jambi Kembangkan Pembalut Kain Ramah Lingkungan
Mikroalga, Nenek Moyang Tumbuhan Penghasil Biofuel
Kali ini, organisme yang menjadi penghasil biofuel adalah mikroalga, nenek moyang tumbuhan. Jenis mikroalga yang peneliti gunakan dalam penelitian adalah Chlorella sp. Strain-nya mereka peroleh dari koleksi laboratorium PTL. Hanif dan Dewanti mengembangkan proses alternatif untuk mengonversi mikroalga menjadi biofuel. Proses tersebut mudah dalam pengoperasian, perawatan, dan memiliki kandungan lokal yang relative tinggi. Proses ini juga ramah terhadap lingkungan dengan meminimalisasi penggunaan pelarut kimia yang dapat merusak lingkungan.
Hanif dan Dewanti mengatakan, salah satu teknologi yang mengonversi mikroalga adalah teknologi ekstraksi yang menggunakan gelombang suara. Gelombang suara ini merambat ke dalam media cair yang merupakan hasil dari siklus bergantian. Teknik ini dapat mengurangi pemakaian bahan kimia pelarut. Sehingga metode ultrasonik sangat menjanjikan untuk industri yang dapat mengarah terbentuknya pabrik kimia yang lebih kecil dan murah. Namun, pengembangan produksi biofuel alga menggunakan metode ultrasonik dalam skala yang besar dan skala komersil masih kurang.
“Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan rancangan proses pada konversi mikroalga menjadi biofuel melalui tahapan kerekayasaan dari konseptual, simulasi, konstruksi sampai operasi. Pada penelitian ini, ekstraksi ultrasonik digunakan sebagai sebuah teknologi inovatif yang ramah lingkungan. Keseimbangan massa energi dan rasio energi dari proses biofuel alga juga dievaluasi,” ujar keduanya.
Hasil menunjukkan bahwa unit konversi mikroalga ke biofuel alga berpotensi untuk menghasilkan minyak alga. Namun, masih perlu pemurnian lebih lanjut untuk memenuhi spesifikasi standar biodiesel Indonesia.
“Pengembangan teknologi terkini untuk memproduksi biofuel dari mikroalga sangat penting dalam rangka meningkatkan efektivitas biaya produksi dalam mengimplementasikan strategi pemanfaatan mikroalga,” ungkap Hanif dan Dewanti.