Noryawati Mulyono, seorang doktor di bidang kimia pangan, menciptakan Biopac, inovasi kemasan ramah lingkungan dari rumput laut.
Apakah Anda peduli dengan lingkungan? Jangan mengaku iya jika Anda masih mengonsumsi makanan atau minuman dengan kemasan plastik sekali pakai. Sebab, Indonesia menempati peringkat dua dunia sebagai negara penghasil sampah plastik ke laut terbanyak setelah China.
Hal ini membuat Noryawati Mulyono, seorang doktor di bidang kimia pangan, menciptakan Biopac. Pengalamannya selama dua puluh tahun sebagai praktisi di perusahaan manufaktur makanan, akademisi, dan kewirausahaan membuatnya terdorong menghentikan pencemaran plastik.
Akar penyebab banjir di Jakarta setiap musim hujan ini menggugahnya untuk mengubah ide penelitian menjadi skala komersial.
Latar Belakang Pembuatan Biopac
“Biopac merupakan hasil penelitian dari seorang perempuan yang terpanggil menjadi dosen di tengah kenyamanannya sebagai profesional yang berkarir di industri pangan untuk memenuhi panggilan mencerdaskan generasi muda Indonesia, ” kisah Noryawati yang juga adalah tenaga pendidik di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, sejak 2009.
“Memilih bioplastic menjadi fokus saya berdasarkan pengalaman pribadi mengalami banjir tahunan sejak tinggal di Jakarta tahun 2000. Menurut pengamatan saya, penyebab utamanya bukan derasnya air hujan, tetapi lebih karena tersumbatnya saluran-saluran air, gorong-gorong, pendangkalan sungai, oleh adanya sampah,” lanjutnya.
Selain pengalamannya di Jakarta, Noryawati pun menceritakan masa kecilnya ketika tinggal di daerah Pekalongan Selatan, Jawa Tengah, 4 km dari lokasi sekolah di Pekalongan Utara. Saat itu, Noryawati kecil sering bangun kesiangan dan hanya sempat sarapan mi instan.
Sesuai namanya, mi instan seharusnya cepat saji. Namun, karena banyaknya saset, persiapan memasaknya seringkali lebih lama dari memasaknya.
Pengalaman masa lalu inilah yang menjadikannya fokus melakukan penelitian di bidang bioplastik. Hingga akhirnya dia berinovasi dengan menawarkan Biopac.
Lebih jauh, dia mencoba menghasilkan sesuatu yang tidak hanya berhenti di tahap penelitian, tetapi dapat menjadi sebuah bisnis, sehingga berdampak nyata bagi masyarakat.
Noryawati menuturkan, hal ini tidak mudah, mengingat banyak faktor yang menjadi pertimbangan seperti mutu produk, biaya produksi, ketersediaan bahan baku, dan skala bahan. Selain fokus pada produknya, tim yang solid juga tak kalah penting.
Kerja sama Tim
Dalam mencetuskan ide ramah lingkungan ini, perjalanan Noryawati tidak selamanya mulus. Sebelum produknya bergulir, dia pernah berada di masa yang galau. Saat itu, produknya sudah layak jual, dukungan dana hibah pun tersedia, namun dia merasa timnya belum benar-benar solid.
Kendala tim yang belum solid membuat Noryawati hampir melalukan pivot, banting setir, karena menilai tim yang teguh esensial di dalam keberhasilan perusahaan. Untungnya, Noryawati tidak patah arang. Kala itu dia melakukan pembenahan dan membangun kembali usahanya di atas dasar yang benar.
“Akhirnya, jadilah Biopac, yang dibentuk oleh tim yang tidak memiliki keinginan mendapatkan keuntungan ekonomi semata-mata. Tetapi ingin berkontribusi untuk mengatasi masalah lingkungan, yang sekarang sudah merambah menjadi masalah sosial dan juga kesehatan,” tutur Noryawati.
Noryawati mendirikan Biopac bersama komisarisnya, Lie Tham Tjhun, yang merupakan pemilik perusahaan manufaktur makanan yang sukses di Indonesia.
Lie Tham Tjhun memulai usahanya pada tahun 1984 di sebuah toko rumahan kecil. Namun, 2020 ini dia telah memiliki dua pabrik dan kantor pemasaran di beberapa kota di Indonesia, dan memasarkan produknya untuk lokal dan ekspor.
Dia melanjutkan, semua penelitian Biopac memiliki dua ciri utama. Pertama, memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah di Indonesia, berkelanjutan, dan tidak menimbulkan risiko kelaparan dan kekeringan. Kedua, akhir masa pakai produk harus aman bagi lingkungan.
Alasan Penggunaan Rumput Laut
Noryawati lalu mengingat masa ketika dia memutuskan untuk berinovasi dengan rumput laut. Pada 2004, Noryawati mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2. Saat itu dia melakukan pengolahan damar untuk tugasnya.
Ketika riset, dia fokus meneliti antibakteri. Tetapi ternyata lewat penelitian itu, dia melihat bahwa damar memiliki aktivitas untuk membentuk film atau lapisan tipis.
Namun, eksplorasi yang terus dia lakukan ternyata menunjukkan bahwa sifat mekanik dari damar kurang bagus. Dia pun melanjutkan pencariannya dalam menemukan biomaterial lain yang melimpah di Indonesia. Noryawati mencari bahan dengan sifat mekanik yang lebih bagus dari damar dan juga memberikan keuntungan ekologis.
Pencarian ini mencapai titik terang pada 2012. Ketika itu, perjalanannya membawa Noryawati pada rumput laut. Dia menilai, dengan melakukan budidaya rumput laut dirinya tidak sekadar membuat inovasi produk ramah lingkungan, namun juga ikut serta menjaga kelestarian biota laut.
“Kalau kita budidaya rumput laut, membutuhkan laut yang bersih. Karena rumput laut itu pertumbuhannya butuh penetrasi sinar matahari. Artinya, petani rumput laut akan berpartisipasi menjaga kebersihan laut,” tuturnya.
Lebih jauh, Noryawati menuturkan dengan menggunakan rumput laut Biopac juga tidak melakukan deforestasi. Menggunakan rumput laut, alih-alih tanaman darat, juga menjauhkan Biopac dari penggunaan pestisida dan pupuk yang masih melibatkan bahan kimia yang berbahaya bagi lingkungan.
Dengan tekad dan kerja kerasnya, tidak heran bila Noryawati mendapat berbagai pengakuan. Penelitiannya pun menerima bantuan dana dari L’Oreal melalui program L’Oreal for Women in Science.
Jenis Produk Biopac
Awalnya fokus Biopac hanya produksi kemasan sekali pakai berukuran kecil, yang tidak akan didaur ulang atau digunakan kembali karena alasan teknologi atau ekonomi, dan jumlahnya besar.
“Jadi, produk yang pertama kali kami luncurkan adalah lembaran sebagai bungkus burger dan nasi, untuk menggantikan kertas burger atau nasi, yang sebenarnya merupakan kertas laminasi plastik. Lembaran tersebut juga bisa digunakan untuk bungkus sabun batang, sampo batang, pasta gigi tablet, dan produk-produk padat sejenisnya,” kisah Noryawati.
Produk kedua yang Biopac jual adalah saset, dengan segel samping atau tengah. Kemasan ini bisa berguna untuk saset kopi, tusuk gigi, dan sebagainya.
Biopac sangat terbuka dengan masukan dari pelanggan. Pengembangan produk pun sudah mereka lakukan karena banyaknya timbal balik dari pembeli.
Tak hanya lembaran pembungkus dan saset, kini mereka juga memproduksi dan menjual gusset, tas belanja dengan tali serut, dan rol segel untuk kantong buah.
Baca juga: Kertas Kemasan dari Ampas Tebu dan Kulit Jagung
Keistimewaan Biopac
Konsumen dapat menghemat waktu saat persiapan untuk mengonsumsi makanan dengan kemasan Biopac, karena kemasan saset Biopac dapat Anda konsumsi bersama dengan makanan di dalamnya.
Namun, apabila tidak Anda makan, konsumen juga dapat membuangnya ke tempat sampah organik, atau ke tanah, saluran air, bahkan ke kloset.
Biopac akan menambah nutrisi tanah dan cepat larut dalam air. Biopac juga halal. Produknya tidak mengandung bahan-bahan yang dapat menimbulkan efek alergi bagi kalangan tertentu, seperti halnya kacang-kacangan, makanan laut, telur, atau terigu.
Biopac dapat Anda beri warna, tulisan atau logo, menyegelnya dengan panas, dan memesannya dengan ketebalan tertentu sesuai kebutuhan pelanggan. Kemasan ini juga ramah lingkungan.
“Ramah lingkungan bagi kami adalah sebuah syarat mutlak. Tidak hanya dapat terurai di alam, namun harus dapat terurai di alam secara alami oleh lingkungan, baik air maupun mikroba yang sudah tersedia di alam. Tanpa perlu bantuan pengaturan suhu atau penambahan mikroba tertentu. Bahkan, aman bagi semua makhluk hidup, yang makro maupun mikro, di darat, maupun laut, sustainable (terjamin keberlanjutannya). Baik dari segi bahan baku, proses pembuatan, produk, maupun akhir dari Biopac,” pungkas Noryawati.
Penulis: Agnes Marpaung
Editor: Ixora Devi