Saat ini di Gaza terjadi kekurangan bahan bangunan dikarenakan blokade dari Israel sehingga pengadaan bahan bangunan menjadi sangat mahal dan memakan waktu lama. Karena kondisi ini, dua orang lulusan Islamic University of Gaza telah membuat inovasi baru, yaitu batu bata yang terbuat dari puing-puing peperangan. Solusi yang sangat terjangkau ini akan segera dibuat dalam skala besar.
Seperti dilansir dari Inhabitat, kedua orang yang membuat batu bata dari puing-puing peperangan tersebut adalah Majd Mashharai dan Rawan Abddlaht. Batu bata mereka yang buat termasuk kategori hijau. Tujuannya adalah untuk membantu warga Gaza membangun rumah mereka kembali setelah ribuan bangunan hancur akibat tiga peperangan yang terjadi selama 10 tahun belakangan.
Majd mengatakan bahwa dia dan rekannya semakin tertarik pada ilmu material selama masa kuliah mereka, namun mereka tidak puas dengan bahan-bahan yang sudah dikembangkan saat itu. Mereka malah memutuskan untuk menciptakan sendiri batu bata menggunakan bahan yang ada di sekitar mereka sehingga bahan yang dihasilkan adalah bahan yang murah namun kuat. Saat ini, menurut mereka kebutuhan batu-bata di Gaza sekitar 40.000 buah per hari.
Di bulan Maret 2015, UNRWA (United Nations Relief and Works Agency) melaporkan bahwa “… 9.061 rumah di Palestina hancur total dan 5.066 rumah rusak parah, sementara 4.085 rumah rusak dan 120.333 rumah rusak ringan. Sementara itu, UNRWA hanya mendapatkan dana untuk membangun kembali 200 dari 9.061 rumah yang hancur total.” Blokade yang dilakukan Israel membuat proses rekonstruksi menjadi sangat sulit.
Israel menyatakan bahwa blokade ini diperlukan untuk menekan Hamas, sebuah kelompok militan yang berkuasa di Jalur Gaza sejak tahun 2007. Dengan mencatat setiap butir semen yang masuk dan keluar di Gaza, lengkap dengan kordinat GPS terhadap bangunan yang akan dibangun, pasukan Israel bisa mencegah Hamas membangun terowongan-terowongan baru untuk menyelundupkan senjata. Namun pihak PBB menyebutkan bahwa blokade tersebut bertentangan dengan hukum kemanusiaan internasional.
Majd dan Rawan juga menaruh perhatian terhadap hasil sampingan dari pembakaran batubara, yang mereka sebutkan sebanyak 10 ton abu batubara dibuang di Gaza setiap minggunya dan mencemari sumber air tanah mereka. Selama berbulan-bulan mereka meneliti cara ntuk menggantikan batu dan pasir dengan abu batubara dan puing untuk dijadikan bata ringan.
Ironisnya, keduanya sering diragukan oleh komunitas mereka sendiri. Berkali-kali batu bata buatan mereka gagal dalam pengujian tekanan. “Setiap kali kami gagal, saya mengingatkan diri sendiri bahwa untuk mendapatkan keberhasilan, kami harus mengatasi tantangan ini dan menghapus kata gagal di kamus kami,” kata Majd.
Setelah lebih dari enam bulan proses perancangan batu bata tersebut, Majd berkata bahwa mereka akhirnya menemukan formula yang tepat. “Saat kami mendapatkan standar kekuatan minimum untuk bata pertama kali, saya sangat terkejut saking gembiranya. Mengetahui bahwa kami tinggal satu langkah lagi dalam mewujudkan mimpi ini, meninggalkan jejak dan membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali serta mulai membangun kampung halaman saya, Gaza.”
Penulis: NW/G15