Jakarta (Greeners) – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut bencana banjir di Jakarta dan Jawa Barat menunjukkan ruang sebagai aspek teknik, ekologi, dan sosial tidak dikelola. Terdapat komponen lain yang perlu diperhatikan sebagai upaya mitigasi banjir selain infrastruktur. Kemampuan adaptasi jangka panjang adalah salah satu yang dibutuhkan.
“Dua aspek lain juga perlu diintervensi sehingga menghasilkan sistem ruang yang mempunyai resiliensi lebih baik terhadap banjir,” ujar Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Inovasi LIPI, Galuh Syahbana Indrapahasta , di Jakarta, Selasa, 7 Januari, 2020.
Menurut Galuh, penurunan kualitas ekologi Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) terlihat dari urbanisasi yang cepat dan tidak terkendali. Faktor lain yakni konversi lahan hijau menjadi ruang untuk pembangunan. Sedangkan aspek sosial meliputi perilaku tidak ramah lingkungan yang menganggap sungai sebagai tempat sampah komunal. “Semakin tinggi urbanisasi, semakin dia luput untuk memperhatikan aspek lingkungan hidup,” ujar Galuh.
Baca juga: BIG: Banjir Akibat Implementasi Tata Ruang Tidak Sesuai
Penurunan permukaan tanah di Jakarta diperkirakan sebesar 7,5 sentimeter sejak tahun 1975. Kemampuan tersebut diperparah dengan pengambilan (ekstraksi) air tanah secara berlebihan dan jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang kurang dari 15 persen. Hal itu juga menegaskan Jakarta sebagai kota beton, aspal, dan semen. Dibutuhkan naturalisasi, normalisasi, hingga rehabilitasi dari hulu hingga hilir yang saling berdampingan untuk mengatasi banjir.
Gusti Ayu Surtiari, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, menyebut adaptasi transformatif perlu dilakukan untuk menghadapi bencana banjir. Upaya tersebut harus dilakukan di semua level mulai dari individu, rumah tangga, kelompok masyarakat, komunitas, hingga negara. Misalnya dengan mengurangi keterpaparan, meningkatkan kapasitas menghadapi banjir maupun menurunkan sensitifitasnya. Menurut Ayu masing-masing tingkatan memiliki rasionalitas untuk mengambil keputusan atas tindakan yang akan dilakukan. Adaptasi juga perlu melibatkan masyarakat melalui pemberian informasi dan dialog mengenai program pengendalian banjir yang dilakukan pemerintah.
Baca juga: LIPI: Sampah di Teluk Jakarta Meningkat 40 Persen
“Contoh, untuk pemerintah melakukan adaptasi seperti, normalisasi, naturalisasi, pembuatan tanggul, dan relokasi. Idealnya kita harus kerja keras menyamakan persepsi. Keinginan untuk melakukan tindakan adaptasi itu sekarang yang paling besar bukan cuma merespons,” ucap Ayu.
Namun penelitian LIPI di Jakarta Utara mencatat, adaptasi di berbagai level tidak sejalan sebab hanya mengutamakan pembangunan infrastruktur, mitigasi masih bersifat pasif, dan pertimbangan ekonomi. Ayu mengatakan adaptasi yang kurang tepat akan menimbulkan risiko baru di masa depan.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani