Surabaya (Greeners) – Hutan mangrove di pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) memiliki potensi istimewa. Tidak hanya berfungsi sebagai kawasan konservasi, Kelompok Tani Mangrove membuat minuman alami dari sebuah jenis mangrove.
Kelompok Tani Mangrove Surabaya, yang membantu menanami mangrove secara mandiri pimpinan Mochson, menawarkan sensasi menikmati teh dengan cara unik. Teh mangrove diambil dari jenis Acanthus ilicifolius atau nama lokalnya druju. Druju tumbuh di bantaran sungai yang berair payau. Wujudnya tidak seperti tanaman bakau yang banyak dikenal orang, yaitu berbatang keras. Druju merupakan tanaman perdu yang mudah dikenali dari daunnya yang panjang dan berduri di ujung dan di kedua sisinya, dengan tinggi sekitar satu meter. Batang tanaman ini juga dipenuhi duri sebagai pertahanan supaya tidak dimangsa binatang.
Para turis mangrove penikmat teh dilibatkan penuh dalam pembuatan teh sebelum menikmati khasiatnya. Wisatawan alam diajak menyusuri pematang tambak di Wonorejo Surabaya untuk memetik daun druju. Medan yang dilalui tidak mudah. Mereka harus berjalan beriringan karena sempitnya pematang. Di beberapa tempat, harus meniti jembatan yang dibuat ala kadarnya. Ada yang terbuat dari sebilah balok kayu, ada juga yang tidak berjembatan. Belum lagi hawa panas pesisir yang menyengat di awal musim panas tahun 2012 ini.
Dengan bimbingan anggota Kelompok Tani Mangrove, para turis memanen daun druju menggunakan capit dan gunting. Layaknya panen daun teh yang biasa dilakukan di perkebunan, teh mangrove juga hanya memanfaatkan pucuk daun saja, atau daun muda.
Hasil panen diolah dengan cara tradisional. Pertama duri-duri dibuang supaya tidak melukai tangan waktu dipotong. Setelah itu dimemarkan untuk mengeluarkan kandungna berkasiatnya. Lalu daun diiris dan dijemur. Setelah kering teh mangrove diseduh. Cara penyajian serupa dengan menyuguhkan teh pada umumnya. Minumnya juga bisa ditambah gula.
”Lho rasanya kok asin?” tanya Hanie, salah seorang wisatawan heran sekaligus tertarik. Sambil minum teh, Mochson menjelaskan bahwa rasa asin tidak bisa hilang karena druju menyerap air payau yang memang berasa asin. Ini justru yang membuat teh mangrove identik.
”Tapi saya sangat menikmati semua proses ini. Mulai dari mencari daun druju, panen, sampai pembuatan teh ini.” katan Hanie setelah menyecap teh druju hangat.
Sejak Januari 2011 lalu hingga kini, Kelompok Tani Mangrove belum mau membuka wisata ini secara luas. ”Kami membatasi pengunjung sampai lima orang saja. Jangan sampai wisata alam justru merusak alam,” kata Soni, panggilan akrab Mochson. ”Kami kuatir, banyak orang yang berkunjung justru akan merusak alam. Juga bisa mengusik kebedaraan satwa di sini,” tegasnya
Selain itu Kelompok Tani Mangrove tidak mematok harga untuk wisata ini. Turis yang mau wisata teh lebih dulu melalui proses wawancara seputar konservasi mangrove. Wisatawan juga ditanyai motivasi mereka ikut wisata ini. Karena selain wisata teh, para pengunjung juga wajib ikut menanam bakau di Pamurbaya sebagai wujud konservasi lingkungan.(G13)