Jakarta (Greeners) – Kasus keracunan merkuri di Indonesia belum banyak diketahui. Padahal, merkuri merupakan merupakan salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan hidup karena bersifat toksik, tidak dapat dimusnahkan (persistent), bioakumulasi dan dapat berpindah dalam jarak jauh di atmosfir.
Merkuri yang sehari-hari dikenal sebagai “air raksa”, pada tabel periodik unsur kimia ditandai dengan simbol Hg (hydrargyrum) dan nomor atom 80. Emisi dan lepasan merkuri ke lingkungan pada akhirnya akan masuk ke dalam rantai makanan dan berakumulasi di tubuh manusia. Jika hal ini terjadi, maka kualitas generasi sekarang dan masa depan akan terancam.
Prof. DR. Dr. Rachmadhi Purwana, Pakar Kesehatan Masyarakat yang juga anggota tim penyusun Naskah Akademis Pengesahan Konvensi Minamata tentang Merkuri, menyatakan bahwa bagi kesehatan, merkuri akan memengaruhi syaraf. Selain itu, hati, ginjal, paru-paru dan jantung juga akan terkena dampaknya jika seseorang mengalami keracunan merkuri.
“Sekali organ-organ itu rusak, tidak bisa disembuhkan lagi. Itu yang menjadi masalah,” katanya kepada Greeners saat ditemui usai menghadiri Dialog Publik Naskah Akademis Pengesahan Konvensi Minamata tentang Merkuri “Merkuri: Tantangan, Komitmen, dan Aksi” di Jakarta beberapa waktu lalu.
Para penambang tradisional dan pemilik toko emas memanfaatkan merkuri untuk memurnikan emas. Meski demikian, patut diketahui bahwa merkuri juga telah digunakan pada banyak industri. Di bidang kesehatan, merkuri ditemukan pada amalgam gigi, termometer, tensimeter, dan lainnya. Pada perlengkapan rumah tangga, kandungan merkuri dapat ditemui pada baterai, lampu jenis TL (Fluorescent Lamp atau lebih dikenal sebagai “lampu putih”), sensor panas, dan lainnya.
Beberapa produsen kosmetik seperti krim pencerah kulit maupun sabun juga ada yang menambahkan merkuri ke dalam produknya. Produk yang mengandung merkuri ini telah dilarang dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kerap melakukan razia untuk meminimalisir peredarannya di masyarakat.
Tidak Mendadak
Merujuk pada kasus pencemaran merkuri di Minamata, Jepang pada tahun 1950-an, orang yang keracunan merkuri akan mengalami kebas pada tangan dan kaki, kekuatan otot melemah, gangguan koordinasi gerak, gangguan pada mata, gangguan bicara, gangguan pendengaran, lumpuh, hingga pada level tertentu menyebabkan kematian.
“Tergantung dari jumlah merkuri yang masuk kedalam tubuh. Tahapnya sedikit-sedikit, mulai dari miligram atau mikrogram tapi itu akan berjalan terus. Kalau sudah masuk ke dalam tubuh, zat ini akan keluar lagi. Tapi dalam perjalanannya di dalam tubuh, dia merusak jaringan di dalam tubuh yang dimasuki. Syaraf, hati, ginjal, paru-paru itu yang pertama. Kejadiannya tidak mendadak tapi pelan-pelan dan insidious (tidak terasa perubahannya),” kata Rachmadi menjelaskan.
Lebih lanjut ia menyatakan, untuk ibu hamil yang terpapar merkuri terus-menerus akan membahayakan janin yang dikandung karena merkuri tersebut akan ia turunkan pada janinnya.
“Selama hamil seakan-akan si Ibu itu selamat. Istilahnya, anak itu sudah berbakti kepada orangtuanya sebelum dilahirkan karena menyelamatkan ibunya dari keracunan merkuri. Anak ini akan berkorban habis-habisan jika ia lahir: lahir kemudian mati, atau lahir cacat. Cacatnya bisa cacat mental. Celakanya kalau cacat yang membuat si anak mati tidak, hidup tidak. Menjadi beban untuk semua masyarakat,” ujarnya.
Menurut Rachmadhi, hingga saat ini Indonesia belum memiliki fasilitas yang memadai untuk mendeteksi keracunan merkuri. “Belum ada karena itu memerlukan suatu infrastruktur yang benar-benar canggih. Alat-alat, laboratorium, dan metodologi pengujian merkuri,” katanya. Kadar merkuri ini sendiri dapat terdeteksi pada darah, rambut, dan kuku selain pada pemeriksaan organ-organ dalam tubuh.
Merujuk pada Laporan Bali Fokus pada Maret 2015 menunjukkan bahwa tanda-tanda keracunan merkuri sudah ditemui di tiga wilayah Indonesia, antara lain Bombana di Sulawesi Tenggara, Sekotong di Lombok Barat, dan Cisitu di Banten.
“Zat merkuri ini berbahaya dan ini akan berdampak luas. Pada waktunya nanti (jika tidak segera ditangani), kita akan melihat masyarakat Indonesia akan rusak, ya sudah, terima saja,” pungkasnya.
Penulis: Renty Hutahaean