Jakarta (Greeners) – Merkuri tidak lepas dari keseharian kita. Logam yang dikenal sebagai air raksa ini digunakan pada baterai, lampu, termometer, amalgam penutup lubang gigi, deterjen, hingga kosmetik. Sayangnya, merkuri berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan karena bersifat toksik, tidak dapat dimusnahkan (persistent), bioakumulasi dan dapat berpindah dalam jarak jauh di atmosfir.
News Anchor yang juga aktif menyuarakan isu-isu lingkungan, Valerina Daniel, mengaku turut prihatin dengan kondisi ini. Ia mengajak agar masyarakat peduli terhadap dampak merkuri bagi kesehatan dan lingkungan dengan turut berperan aktif mengurangi penggunaan merkuri dalam aktivitas sehari-hari.
“Sebagai konsumen, ketika kita membeli harus lebih memperhatikan mana yang boleh dan mana yang tidak diperbolehkan, dalam hal ini terhadap barang-barang yang mengandung merkuri. Kalau ada merkurinya, berarti kita beralih ke barang-barang yang tidak ada merkurinya. Contohnya memilih lampu, pilih LED yang tidak ada merkurinya,” ujarnya usai menjadi moderator pada Diskusi Publik Naskah Akademis Pengesahan Konvensi Minamata tentang Merkuri bertajuk “Merkuri: Tantangan, Komitmen, dan Aksi” pada Pekan Lingkungan Hidup, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Untuk mengurangi dampak buruk merkuri terhadap lingkungan, Val, sapaan akrab Valerina, menyatakan dirinya sudah membiasakan diri memilah sampah mulai dari rumah, termasuk memisahkan sampah yang tergolong B3 (berbahaya dan beracun) seperti baterai bekas. Namun ia menyayangkan upayanya memilah sampah berakhir sia-sia karena sampah-sampah tersebut akan bercampur kembali saat diangkut petugas kebersihan.
“Ketika kita membuang baterai, mereka (petugas kebersihan, Red.) tidak tahu kalau merkuri itu berbahaya dan tidak ada tempat untuk menampungnya. Mereka akhirnya mencampur sampahnya,” katanya.
Mengolah limbah B3, termasuk sampah yang mengandung merkuri, lanjutnya, harus menjadi tanggung jawab semua pihak. Menurut Val, sudah menjadi tugas pemerintah untuk menahan laju merkuri di Indonesia, namun mengolah limbah yang sudah ada juga merupakan hal penting yang harus dipikirkan bersama.
“Mungkin bisa mempertimbangkan Bank Sampah komunal yang khusus untuk sampah spesifik seperti sampah B3 atau lebih diketatkan lagi dari produsen untuk bisa menyediakan tempat pembuangan sampah khusus seperti di mall atau supermarket. Jadi konsumen tahu kalau barang yang mereka beli itu sudah rusak, mereka bisa membuangnya di sana,” ujarnya.
Ia menambahkan, pengelolaan sampah B3 dengan melibatkan berbagai pihak diharapkan dapat membentuk gaya hidup yang ramah lingkungan.
“Dengan begitu akan menciptakan suatu gaya hidup yang bisa membuat masyarakat belajar bahwa kita harus menjaga lingkungan dan mencegah merkuri beredar di masyarakat,” pungkasnya.
Penulis: Renty Hutahaean