Di tengah gempuran fesyen cepat yang mengakibatkan dunia menjadi tempat pembuangan baju bekas, pengusaha mode Tanah Air mencoba menawarkan solusi. Nyatanya, untuk menangkis fesyen cepat, kita tidak perlu melihat ke negeri yang jauh. Cukup berkaca pada identitas diri, warisan nenek moyang. Memberdayakan pekerja perempuan dari penjuru negeri, Torajamelo, melawan industri fesyen cepat global dengan busana berkualitas khas Bumi Pertiwi.
Seiring berkembangnya globalisasi, semakin banyak pula inovasi yang tercipta. Salah satunya adalah gaya berpakaian, yang menjadi sarana eksplorasi untuk menguji kreativitas. Bukan hanya sebatas untaian benang yang satu demi satu menjadi tenun sebagai pelindung tubuh, pakaian kini memiliki makna tersendiri. Bahkan bisa menjadi faktor penilaian sosial bagi sebagian orang.
Produk pakaian lokal saat ini turut melebarkan sayapnya dan tak kalah bersaing dari segi bahan dan variasi dengan merek luar negeri. Bahkan ada produk lokal yang tak sekadar berbisnis pakaian. Pendirinya mengangkat isu perempuan dan kemiskinan, yaitu Torajamelo.
Data Kemiskinan di Indonesia
Data dari Bank Dunia tahun 2019 menyatakan, 25,1 juta orang dari 267,3 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara itu, sekitar 20,6% penduduk Indonesia masih rentan jatuh miskin karena pendapatannya sedikit di atas garis kemiskinan nasional. Riset yang Torajamelo lakukan menunjukkan bahwa presentase penduduk miskin yang tinggi adalah perempuan pedesaan. Banyak di antara mereka kemudian bekerja di luar negeri menjadi asisten rumah tangga.
Tiap tahunnya, ada saja kasus penganiayaan pada tenaga kerja Indonesia. Jumlah migran perempuan yang meninggal pun mencapai kurang lebih 2500 orang pada 2018. Maka dari itu, Torajamelo hadir untuk pengentasan kemiskinan masyarakat pedesaan dan berusaha menghidupkan kembali ekonomi pedesaan dengan menenun.
Wiraswasta Tenun Indonesia
Bisnis tenun sendiri mereka gagaskan karena di Indonesia, ada lebih dari tiga ratus kelompok etnis yang memiliki warisan kerajinan tenun sejak seratus tahun yang lalu. Kelompok yang menjadi sasaran Torajamelo terutama di daerah kemiskinan dan terpencil, yang memiliki sedikit peluang untuk mencari pendapatan. Selain itu, tekstil tenun tangan adalah bagian integral dari upacara dan ritual kehidupan dari suku bangsa di Indonesia. Demi kelestarian warisan dan sejarah tenun ini, Torajamelo berharap dapat meremajakan seni dan budaya tekstil tenun tangan di Indonesia.
Merek ini bekerja sama dengan komunitas tenun yang mereka bentuk untuk menjunjung tinggi kualitas produk buatan mereka. Produk pakaian yang dijajakannya, antara lain; blus segitiga hitam sole oha, kebaya toraja nina pendek, dan lain-lain. Desain yang tertuang dalam produk Torajamelo mengutamakan fungsi, otentisitas, dan gaya kontemporer.
Ada juga kain tenun seperti adonara, yaitu tekstil tenunan tangan dengan kombinasi motif penetoten dan teknik ikat; serta lembata, yaitu tekstil tenunan tangan dengan pewarna alami, serta kombinasi katun pintalan tangan dan teknik ikat.
Selain pakaian dan kain seni, mereka juga menjual buku yang berisi beragam kisah menarik yang berkaitan dengan budaya dan lingkungan hidup. Sebagai contoh, ada buku sole oha yang merupakan tradisi syukuran masyarakat di pulau Adonara dan Lembata dengan perpaduan tarian langkah, nyanyian dan cerita. Ada juga Untannun Katuoan yang berisi cerita Kehidupan Sehari-hari Penenun Sa’dan (Toraja).
Baca juga: Aqua Vida, Pakaian Olahraga Juga Bisa Ramah bagi Lingkungan
Torajamelo, Berbisnis dengan Kemanusiaan
Torajamelo menciptakan konsep Community Based Travel, di mana para penenun dan penduduk desa mendapatkan penghasilan tambahan dengan menyewakan rumah mereka dan menyajikan paket tur, yaitu memasak makanan tradisional, pertunjukan tari lokal, dan bertindak sebagai pemandu lokal. Selain itu, ada juga koperasi penenun. Banyak perempuan yang kembali dari Malaysia dan bisa mencari nafkah sebagai penenun dengan penghasilan rata-rata Rp 3-5 juta per bulan. Kebanggaan orang Toraja untuk mengenakan tekstil tenunan tangan tradisional telah kembali, menciptakan permintaan lokal yang tinggi.
Tak pelit ilmu, Torajamelo pun seringkali menjadi mentor untuk memberikan saran dalam berbagai hal seperti budaya, kuliner, pariwisata, pembuatan film, ekowisata, dan tentunya bisnis. Merek ini mendorong generasi muda untuk mempertahankan warisan lintas generasi dengan berbagai cara, khususnya dengan melakukan wirausaha sosial berbasis komunitas, serta kolaborasi.
Saat ini Torajamelo sudah bekerja dengan lebih dari 1100 penenun di Toraja & Mamasa (Sulawesi), Adonara, Larantuka dan Lembata di Nusa Tenggara Timur. Dalam tiga tahun mendatang, merek ini akan meningkatkan jangkauan hingga 1500 penenun di 10 komunitas termasuk Lombok, Sumba, dan lainnya. Selain itu mereka sudah mendapatkan banyak penghargaan seperti penghargaan The Marketeers Women Award (2016), dan Staff of President Republic Indonesia homegrown brand (2016).
Penulis: Agnes Marpaung
Editor: Ixora Devi