Rasa percaya memiliki harga yang sangat mahal pada suatu hubungan, mulai dari ranah kekerabatan hingga relasi percintaan. Pakar perilaku organisasi Carniege Mellon University, Denise M. Rousseau, dalam “Not So Different After All: A Cross-discipline View of Trust” mendefinisikan kepercayaan sebagai situasi mental ketika seorang bersedia menerima risiko terhadap apa yang dia lakukan. Hanya saja, tidak semua orang yang mengklaim telah memberikan ‘rasa percaya’ siap menghadapi risikonya. Maka dari itu, jamak dari kita yang terperangkap dalam masalah kepercayaan, trust issue. Biasanya, trust issue ditandai oleh kesulitan memercayai orang lain dan sering menaruh curiga atas setiap tindakannya.
Menurut Rousseau, trust issue hadir karena trauma mendalam dari pengalaman masa lalu yang membuat kita terjebak dalam logika hitam putih. Logika hitam putih adalah istilah psikologi untuk menyebut cara berpikir absolut: menilai segala sesuatu berdasarkan dua kutub yang saling berlawanan. Padahal, lanjutnya, perilaku manusia tak sama dengan persamaan matematika.
Manusia dengan segala kompleksitas latar belakang dan karakteristiknya tentu begitu dinamis. Itu sebabnya trust issue akan sangat berbahaya karena cenderung menganggap tindakan seseorang memiliki motif sama dengan trauma yang pernah dialami sebelumnya.
Jika permasalahan ini terus-menerus dibiarkan, tentu dapat merugikan diri sendiri karena niscaya mengundang kegagalan dalam hubungan yang sedang dijalani. Membuat “Peta Kepercayaan” adalah tips yang dapat Anda lakukan demi mengembalikan rasa percaya yang sudah lama hilang. Berikut 3 rute peta kepercayaan yang Greeners rangkum dari berbagai sumber.
Baca juga: Kenali Bahan Kimia Berbahaya Dalam Pakaian
Rute 1 : Percaya pada Diri Sendiri
Tak bisa dipungkiri, faktor terbesar yang juga kerap memicu trust issue adalah krisis kepercayaan terhadap diri sendiri. Meragukan potensi dan menilai diri kurang berharga sehingga menganggap tidak pantas untuk dicintai merupakan dua dari banyak sekali contoh persepsi yang harus Anda buang jauh-jauh.
Anda bisa mulai percaya pada diri sendiri dengan memberi diri tanggung jawab untuk mencari alasan. Jawab lah pertanyaan ini, “Mengapa saya begitu sulit percaya pada orang lain?”.
Dengan mejawab pertanyaan di atas, Anda akan belajar mengenali luka yang sedang Anda alami. Mengenali luka lalu akan memudahkan proses penyembuhan trust issue. Bayangkan jika suatu hari Anda sakit gigi tetapi yang dibeli malah obat sakit perut. Begitu pula dengan trust issue, pahami kejadian apa dan siapa yang telah menyebabkan rasa percaya memudar.
Bisa saja masalah kepercayaan timbul berkaitan dengan orang terdekat, pengalaman masa kecil, dll. Setelah mengetahui jawabannya, beri diri apresiasi dan maafkan semua penyebab itu pelan-pelan.
Rute 2 : Percaya terhadap Hal di Luar Kendali
Sulitnya memercayai orang lain kadang muncul karena Anda merasa dapat memprediksi masa depan. Berjiwa skeptis tentu tidak salah, namun jangan lupa ada kekuatan lain di luar diri yang lebih besar. Kekuatan di luar jangkauan Anda bisa mengubah banyak hal tanpa mampu terduga-duga sebelumnya. Jadi, bisa saja orang yang Anda pikir berkhianat justru sedang berusaha menjaga Anda erat-erat.
Hindari pula bersikap impulsif pada lawan bicara. Membuat keputusan yang terburu-buru tanpa memikirkan konsekuensinya hanya akan mengantar Anda pada jurang penyesalan. Berpikirlah dengan penuh pertimbangan, karena ada banyak hal di dunia ini yang tak sanggup kita kendalikan. Manfaatkan hubungan yang saat ini sedang dijalani dengan memberi sebaik-baiknya kepercayaan, bukan keraguan.
Baca juga: Empat Dokumenter Lingkungan Wajib Tonton
Rute 3 : Percaya pada Waktu
Melepaskan diri dari bayang-bayang ‘sakit’ di masa lalu memang tak pernah mudah untuk dilakukan. Namun, dengan terus memaksa diri untuk melupakan juga akan membuat rasa percaya berada di ambang kehancuran. Oleh karenanya, serahkan semua ingatan buruk pada waktu. Waktu niscaya dapat membantu Anda melupakan sakit di masa lalu.
Seiring dengan proses melewati 3 rute di atas, berusahalah untuk meningkatkan self disclosure, keterbukaan diri. Pada banyak literaratur dijelaskan bahwa self disclosure sendiri adalah suatu jenis komunikasi, yaitu pengungkapan informasi tentang diri sendiri yang biasanya disembunyikan.
Pengertian itu sesuai dengan penelitian Overwalle dan Heylighen mengenai self dislosure dalam Talking Nets: A Multiagent Connectionist Approach to Communication and Trust Between Individuals. Menurut Overwalle dan Heylighen, keterbukaan akan memengaruhi komunikasi, harapan, dan pada akhirnya berakibat pada hubungan interpersonal serta membuat seseorang berkeinginan untuk berbagi informasi dan berkomunikasi.
Proses berkelanjutan ini, ujar para pakar, niscaya akan memunculkan kepercayaan. Menurut mereka, satu elemen esensial dari rasa percaya adalah keterbukaan.
Penulis : Zury Muliandari
Editor: Ixora Devi