Jakarta (Greeners) – Senja semakin pekat, langit pun mulai menghitam. Lampu-lampu neon yang terpasang diberbagai sudut cafe ini menerawang bias menggantikan matahari yang telah berpulang.
Sesosok pria tua dengan kacamata bertengger di hidungnya seperti tidak menghiraukan silaunya neon yang menerobos tempatnya duduk. Matanya tajam menatap kanvas di depannya. Dengan tangan rentanya, ia memainkan kuas bercampur cat. Goresan demi goresan yang ia torehkan di atas kanvas berubah menjadi lukisan yang tidak biasa. Satu per satu, perhatian pengunjung beralih ke lukisan itu.
Pria tua itu adalah Djoko Pekik. Ia pernah menjadi tahanan politik akibat geger politik pada tahun 1965. Tapi ia tidak berhenti bersikap kritis. Lewat lukisan, ia sampaikan kritik dan umpatan sumpah serapah kepada penguasa zalim.
Bukan tanpa alasan lagenda hidup seniman lukis Indonesia ini datang melukis di Rolling Stone Cafe, pada Jumat (24/10) malam.
Djoko yang memang tidak tinggal di Jakarta, diundang oleh Awanama Art Habitat dan Folks Mataraman Institute sebagai bagian dari pengisi acara “Wayang Rokenrol”, sebuah pagelaran wayang yang menggabungkan seni visual dan musik yang dikomposisikan secara apik dalam sebuah seni pertunjukan untuk menyambut Malam Satu Suro.
“Lukisan ini judulnya ‘Celeng yang Dijarah Para Anjing-anjing,” tutur Djoko saat disambangi oleh Greeners usai melukis.
Secara harfiah, Djoko menjelaskan, bahwa lukisan yang baru saja ia selesaikan tersebut menggambarkan kalau kapitalisme di Indonesia harus diusir karena telah merampas banyak tanah rakyat.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan, semakin meluasnya pembangunan perumahan di kota-kota besar yang dilakukan oleh para pengembang, yang entah bagaimana bisa mendapatkan izin untuk membangun, membuat suasana kota menjadi kisruh, panas dan kering.
“Di kota ini, yang perusak alam itu ya para developer perumahan. Mereka, para kapitalis itu, membabat habis pohon-pohon kita, sawah-sawah kita, semuanya dirampas sama mereka,” katanya.
Pria yang kini berusia 77 tahun tersebut menyayangkan sikap pemerintah yang dengan mudah memberikan izin kepada pengembang perumahan untuk untuk membangun rumah atau apartemen di tanah-tanah yang produktif.
“Ini kan aneh, kenapa bukan tanah yang sudah tidak produktif lagi saja yang dijadikan lahan perumahan?” kata Djoko.
Lukisan celeng karya Djoko dibiarkan tergantung di easel. Sudah banyak mata yang melihat lukisan ini malam itu. Entah apa yang ada dalam benak pemilik mata yang melihatnya. Semoga saja mereka tidak berpikir bahwa celeng itu sekadar celeng dan anjing itu sekadar anjing.
(G09)