Jakarta (Greeners) – Selalu ada cara untuk memanfaatkan sampah plastik. Kira-kira prinsip ini yang diterapkan oleh Robertus Junaedi dalam menjalankan usaha kerajinan tangan miliknya yang berlokasi di Bantul, Yogyakarta. Pria yang akrab disapa Junaedi ini terpikir untuk mengolah limbah plastik menjadi berbagai bentuk pelengkap fesyen seperti tas, topi, rompi dan dompet. Karyanya tidak hanya ia pamerkan di Ibukota Jakarta, melainkan hingga ke Bremen, Jerman.
Junaedi memulai usahanya pada tahun 1998. Ia bersama istrinya, Rita Margareta, membentuk CV Mekar Abadi dengan keyakinan bahwa sampah memiliki nilai ekonomi. Dengan mengusung label “krésékA”, pria berusia 53 tahun ini menciptakan berbagai produk tas tangan wanita dengan desain simpel namun terlihat elegan.
“Masalah ide, kami semua adalah penggiat lingkungan. Untuk memberikan ajakan kepada masyarakat, kita harus mencari inovasi-inovasi terkait pemanfaatan sampah itu sendiri. Kita bisa menggali dari manapun juga dan di sisi lain kita juga bisa berkreasi dengan bahan-bahan di sekitar kita,” ujarnya kepada Greeners saat ditemui di acara Indonesia Climate Change Education Forum & Expo (ICCEFE) 2016 pada Jumat (15/04). Ia menjadi salah satu peserta yang memamerkan karya dari pengolahan limbah plastik.
Apabila kebanyakan sampah plastik kemasan diolah secara utuh menjadi berbagai produk sandang, tidak demikian dengan tas krésékA. Tas krésékA diproduksi dalam beberapa tahapan untuk mendapatkan material dan warna tertentu sebelum diolah menjadi produk jadi. Junaedi menyatakan bahwa proses laminating menjadi inspirasi awal pembuatan tas tangan tersebut.
“Saya otodidak mempelajari ini. Untuk pembuatan tas plastik kresek, saya terinspirasi dari laminating ijazah atau apapun. Laminating itu bahan dasarnya plastik dan melalui proses pemanasan. Untuk membuat tas, lapisannya tergantung model tas yang dibuat,” katanya.
Lapisan yang dimaksud Junaedi adalah lembaran plastik yang dihasilkan dari beberapa kantong plastik kresek bekas yang ditumpuk menjadi satu dan di pres dengan suhu tertentu hingga menyatu (seperti dalam proses laminating).
Menurut Junaedi, untuk membuat satu tas tangan diperlukan delapan lapis atau sekitar 60 lembar kantong kresek. Sementara untuk dompet, diperlukan sekitar 4-6 lapis kresek yang sudah di pres.
Junaedi bekerjasama dengan bank sampah yang ada di daerah Yogyakarta untuk mendapatkan bahan baku. “Kebetulan kami mempunyai jejaring pengelola sampah mandiri se-DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) dimana masing-masing kabupaten/kota juga ada jejaringnya. Plastik kresek di jual di pengepul kan murah sekali, itu kita beli,” ujarnya.
Tas tangan krésékA tidak menggunakan pewarna tambahan. Untuk mendapatkan warna yang diinginkan, Junaedi hanya mengepres beberapa plastik kresek menjadi satu. Hasilnya, ia bisa mendapatkan lembaran warna biru, merah, oranye, hitam, bahkan hijau terang.
Untuk mengerjakan satu tas tangan yang berkualitas, Junaedi tidak menyerahkannya pada satu orang karena diperlukan beberapa tahapan seperti pengepressan, pemotongan, hingga menjahit lembaran plastik menjadi sebuah tas. “Selain lebih mudah untuk memonitor dan mengevaluasi, untuk “menggeber” kalau ada pesanan banyak jadi lebih mudah,” katanya menjelaskan.
Tas tangan krésékA dibanderol dengan harga sekitar Rp 150.000 hingga Rp 270.000, namun kualitas bahan yang tahan lama dan upaya turut melestarikan lingkungan menjadi nilai lebih dari tas tangan ini. Junaedi bahkan mengeluarkan sertifikat pada setiap tas produksinya dan menerima layanan purna jual, seperti perbaikan lapisan tas dan jahitan. Layanan purna jual ini bisa didapat apabila pelanggan mendatangi workshop sekaligus kantornya yang berada di PERUM Taman Sedayu I Blok B No.7 RT 45 Metes, Argorejo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
Penulis: Renty Hutahaean