Judul : R A C U N
Durasi : 49 menit
Genre : Dokumenter
Sumber : Kanal Youtube Ignas Inyas Kunda
Krisis ekonomi dan pangan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 membuat masyarakat harus mencari cara agar kebutuhan tetap terpenuhi di tengah keterbatasan. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh warga di kampung Boalabo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Mereka menjadikan ubi sebagai pangan alternatif sehari-hari.
Masyarakat di kampung Boalabo mengonsumsi pangan lokal ubi yang disebut odo untuk bertahan hidup di tengah pandemi. Ubi ini disebut juga dengan gadung yang kerap dikenal sebagai ubi beracun dan berbahaya. Dengan pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun, mereka mampu mengelola dan mengolah ubi beracun sebagai pangan pokok untuk bertahan hidup.
Keluarga Maksisela dan Isabela adalah salah satu contoh yang mengonsumsi odo. Mereka terpaksa menggali ubi lebih awal pada bulan April karena bahan pangan menipis akibat pandemi Covid-19. Ubi ini seharusnya dipanen saat Juni atau Juli, tetapi karena kondisi krisis membuat mereka terpaksa menggali ubi yang masih muda.
Akibat wabah korona, bahan pangan menipis karena pasar tutup. Mereka pun tidak bisa berjualan sehingga menyebabkan tidak adanya pemasukan untuk rumah tangga. Setiap hari mereka keluar masuk hutan melewati tebing curam dengan kemiringan 45 derajat sejauh 8 kilometer untuk mencari ubi beracun yang memiliki batang berduri.
Keluarga Maksisela tidak hanya mengambil, tetapi juga menanam kembali agar bisa dipanen di tahun berikutnya. Di Desa Boalabo memakan ubi odo adalah tradisi. Masyarakat banyak mengonsumsi ubi tersebut untuk menopang hidup karena tidak bisa hanya mengandalkan beras.
Selain itu, keluarga Piter juga turut menggali odo. Untuk mencari ubi dilakukan secara berkelompok dan menyebar hingga 1 sampai 2 kilometer. Piter yang bekerja sebagai kuli bangunan, sudah hampir 3 bulan tidak bekerja akibat pandemi ini. Persediaan pangan yang sudah habis, harga komoditi yang menurun, dan harga sembako yang naik serta pasar yang ditutup membuatnya tidak bisa menjual ternak. Piter pun beralih dengan menggali odo.
Untuk menghilangkan racun, odo harus diiris tipis dan direndam dengan air garam selama satu malam. Keesokan harinya, bahan tadi harus direndam di air mengalir di sungai selama satu malam agar racunnya keluar. Di Sungai Ada’an inilah warga berkumpul untuk mengiris odo dan langsung merendamnya. Walaupun beracun, odo dinilai memiliki manfaat untuk menurunkan kadar gula.
Odo menyelamatkan masyarakat lokal dari ketergantungan beras. Mereka dapat bertahan hidup dengan pangan alternatif ini. Odo dianggap bukan sebagai simbol kemiskinan atau status sosial yang rendah. Jika pengetahuan mengelola odo punah, nasib penduduk saat krisis ekonomi dan pangan seperti ini akan semakin terancam. Ketergantungan pada beras dinilai telah meracuni pikiran masyarakat dari pangan-pangan lokal yang berada dekat dengan lingkungan.
Ubi odo memiliki dua sisi pandangan, pertama dianggap sebagai kegagalan menyediakan akses pangan utama kepada masyarakat yang sudah bergantung dengan beras. Kedua, kisah bahwa pangan semestinya beragam bukan seragam. Pangan sebaiknya diproduksi dekat dan oleh diri sendiri, bukan didatangkan dari tanah-tanah yang jauh di kampung orang. Pandemi Covid-19 telah menyadarkan bahwa mereka yang bertahan adalah mereka yang justru memiliki sumber karbohidrat alternatif dan pengetahuan lokal yang masih terjaga.
Penulis: Mega Anisa