Kreativitas tanpa batas. Barangkali, itu kalimat yang sesuai menggambarkan aktivitas grup musik elektronik asal Bandung, Bottlesmoker. Pada pertengahan tahun 2020 lalu, grup beranggotakan Agung “Angkuy” Suherman dan Ryan “Nobie” Adzani ini membuat komposisi untuk tanaman. Bahkan, Bottlesmoker juga telah tiga kali menggelar konser betajuk “Plantasia” untuk eksperimen mereka.
Agung “Angkuy” Suherman mengingat kembali buku yang menginspirasinya. Hallucinogenic Plants karya Richard Evans Schultes. Buku tersebut menyebut beberapa tanaman yang bisa menjadi media komunikasi dengan sang pencipta. Caranya tidak hanya sekadar mengonsumsi, tapi juga memberi perlakuan spesial.
Lantas, Angkuy terpikir juga kebiasaan masyarakat Sunda memperlakukan tanaman khususnya padi.
Padi, tutur Angkuy, merupakan persona Dewi Sri atau dewi kesuburan. Masyarakat sunda kerap memberikan perlakuan khusus seperti ritual, kesenian, upacara, agar padi lebih subur.
“Ini juga boleh jadi satu konsep untuk membuat karya seni yaitu melakukan special treatment kepada tanaman. Sebab kita background-nya musik, jadi kita kasih musik untuk tanaman. Tanaman ini bisa happy, bisa menerima musik,”ujar Angkuy kepada Greeners, Sabtu, (9/1/2021).
Cerita Riset Bottlesmoker Temukan Komposisi Musik untuk Tanaman
Angkuy menyebut tantangan menciptakan musik untuk tanaman adalah mencari komposisi yang cocok. Meski begitu, proses Bottlesmoker menciptakan komposisi musik tanaman tidak asal-asalan.
Bottlesmoker menjadikan riset sebagai pijakan untuk menghasilkan komposisi yang sesuai untuk tanaman. Berbagai metode Bottlesmoker lakukan untuk meramu komposisi yang sesuai. Mulai dari wawancara hingga studi literatur.
Selain mencari komposisi yang pas untuk tanaman, Bottlesmoker juga menyesuaikan komposisi agar nyaman dengan manusia. Angkuy menyebut tidak semua musik yang cocok untuk tanaman, cocok pula untuk manusia.
Dia mencontohkan, ada komponen frekuensi musik kisaran 5.000 hertz (Hz) yang bagus untuk tanaman. Namun, suara yang dihasilkan sangat melengking.
“Waktu mengetes frekeuensi 5000 Hz saya mendengar 40 menit itu pusing. Langsung pengen muntah sebab terlalu melengking,” terang Angkuy.
Untuk menyiasati itu, Bottlesmoker menempuh beberapa cara. Mereka mengatur waktu dan memasukan bebunyian alam yang mendekati 5.000 Hz seperti suara tongeret, burung, dan lain sebagainya.
“Jadi kami ingin juga ini musiknya bisa digunakan untuk meditasi, untuk healing. Makanya kita olah juga. Sejauh ini masih aman dan masih bisa sama manusia,” ucapnya.
Plantasia, Alternatif Konser di Tengah Pandemi ala Bottlesmoker
Angkuy menyebut butuh waktu persiapan lima minggu sebelum menggelar konser Plantasia pertama. Bottlesmoker juga tidak punya ekspektasi lebih terkait dampak dari komposisi musik mereka untuk tanaman.
Bagi Bottlesmoker, Plantasia semacam aktivitas di tengah pandemi Covid-19 yang melarang adanya kerumunan manusia. Untuk itu, agar mereka bisa bermusik secara offline, mereka hanya menjadikan tanaman sebagai audiens.
Siapa sangka, konser berdurasi sekitar 90 menit ini menunjukan hasil yang tidak terduga. Tanaman yang menyaksikan konser menunjukkan percepatan pertumbuhan pasca konser.
Beberapa tanaman seperti cabai rawit buahnya berubah dari hijau menjadi oranye, begitu juga oregano yang berbunga setelah konser.
“Awalnya kita tidak percaya itu gara-gara musik yang kita bikin. Tapi, (setelah konser) makin banyak yang laporan (positif). Tapi memang toh masuk akal sebab elemen musik kita berdasarkan kajian ilmiah orang lain. Kita hanya mengemas ulang saja,” kata Angkuy.
Angkuy melanjutkan, awalnya Plantasia hanya direncanakan hingga akhir Desember. Hal ini mengingat Bottlesmoker juga hampir merampungkan album kelima: Puraka.
Namun, melihat kondisi rilis album tidak memungkinkan sebab masih pandemi Covid-19, musik, dan tanaman kemungkinan masih jadi proyek terdekat Bottlesmoker.
“Si album jadi ditunda dulu. Si tanaman ini secara bisnis jadi membuka market baru ke kita. Jadi tanaman ini marketnya luas banget. Banyak proyek tanaman dan alam jadi kita garap ini dulu,” katanya.
Bottlesmoker Ajak Masyarakat Peduli Lingkungan Melalui Puraka
Lebih jauh, Angkuy menjelaskan terkait album Puraka Bottlesmoker mengangkat tema tentang hubungan manusia dengan alam.
Single pertama album tersebut “Tortuga” menggambarkan bagaimana manusia merusak lingkungan dengan eksploitasi tanpa batas.
Puraka sendiri bermakna bernapas. Menurut Angkuy, kondisi saat ini membuat manusia sulit bernapas yang salah satunya karena perusakan lingkungan.
“Kita ingin mengingatkan kepada publik. Alam kita sudah rusak, saatnya harmonis dengan alam,” terangnya.
Angkuy berharap semakin banyak orang tergerak untuk menjaga dan merawat alam. Menurutnya, generasi mendatang harus mendapat kesempatan menikmati alam yang bersih dan lestari.
Bagi Angkuy, aksi menjaga alam tidak melulu harus dengan sesuatu yang besar, tapi bisa dengan aksi yang bertahap sesuai dengan kemampuan.
“Jadi saya berharap semua orang bisa merespons kondisi alam, lingkungan kita dengan cara sendiri. Tidak perlu ekstrem, tapi bertahap. Bisa di lingkungan rumah sendiri dulu,” pungkasnya.
Penulis: Muhammad Ma’rup
Editor: Ixora Devi