(Greeners) – Meski tinggal di perkotaan dengan teknologi yang memudahkan aktivitasnya yang padat, penyanyi Nina Tamam ternyata rindu dengan suasana hutan yang asri. Ketika usianya masih lima tahun, Nina pernah sampai enggan mencemari aliran air sungai lantaran air tersebut sangat jernih.
“Ibu saya orang Barabai, Kalimantan Selatan. Itu sekitar 3-4 jam dari Kota Banjarmasin. Ketika saya ke sana dulu waktu saya masih kecil, hutannya enggak terlalu rapat, masih asri banget. Sungainya bersih sampai saya enggak berani buang air besar karena saya bisa lihat ikan dan kepiting jalan-jalan di dasar sungai,” ujarnya saat ditemui di sebuah konser musik bertema hutan dan lingkungan di Jakarta beberapa waktu lalu.
Suasana lingkungan yang indah itu, menurut Nina kini sudah sangat berubah. Sungai yang tadinya sebening kaca telah keruh dan kotor. “Saya dikasih tahu ibu saya kalau pulang ke Banjarmasin jangan ke Barabai. Sungainya sudah coklat dan hutannya sudah banyak (dibangun) rumah. Aku kan jadi sedih,” kata ibu satu anak ini.
Nina yang juga aktif menyuarakan kesejahteraan hewan ini pun menuturkan kalau dirinya ingin ambil bagian dalam upaya pelestarian hutan. “Saat ini hutan Indonesia sudah banyak banget yang ditebang untuk sawit. Aku concern banget, sedih. Aku bingung tapi bagaimana caranya (melestarikan hutan)? Karena enggak mungkin aku ujug-ujug nanem pohon,” katanya.
Akhirnya keinginannya untuk terlibat dalam konservasi hutan terwujud dengan adanya ajakan untuk mengadopsi pohon dari salah seorang temannya. Ia pun melakukan upaya lebih dengan mengurangi penggunaan sawit dalam kebutuhannya sehari-hari.
“Aku berusaha untuk tidak memakai (produk) apapun dari sawit kecuali make-up. Itu susah mencari yang bahan dasarnya enggak dari sawit. Mulai dari minyak goreng, sabun, pembersih peralatan rumah tangga. Jadi di rumah aku lakukan itu, yang ada bahan dasarnya sawit sebisa mungkin aku ganti,” ujar Nina.
Alasan Nina untuk tidak lagi menggunakan produk rumah tangga yang mengandung kelapa sawit pun makin kuat dengan pengalamannya berjalan diantara lebatnya hutan Kakaban di Kalimantan Timur. “Di Kakaban, hutannya rapat banget, enggak bisa tertembus matahari. Kalau itu habis buat (perkebunan) sawit, enggak bisa ditanami lagi, anak kita mau bagaimana nantinya?”
Penulis: Renty Hutahaean