Oleh: Oming Putri
Jumat pagi kemarin (21/3) di Wildlife Rescue Centre berbeda dengan Jumat lainnya. Di tepi kolam, suara Owa Jawa dan monyet ekor panjang bercampur dengan teriakan dan decak kagum manusia. Di sela kamera-kamera smartphone yang tak berhenti merekam, mata para pemuda berkali-kali menahan kedip. Peserta Switch Camp, lokakarya lingkungan rancangan Komunitas tigalimapuluh, disambut oleh nasihat yang memukau yang dibalas dengan tepuk tangan meriah di akhir pertunjukkan.
Alih-alih membuat telinga, hati, dan pikiran meradang, nasihat itu menciutkan segala gusar dan menggantinya dengan kehangatan. Kehangatan yang tak berlebihan juga tak kurang. Nasihat itu datang dari duo eksperimental Wukir Suryadi dan Rully Shabara dalam Senyawa yang berkolaborasi dengan penari kontemporer asal Denpasar, Bali, Tebo Aumbara. Wukir, pria kurus berambut panjang yang low profile dan apa adanya, memang terkenal memiliki ide-ide ajaib dengan alat musik. Sebut saja, “Bambu Wukir”, alat musik buatannya sendiri yang sudah mendunia dan kabarnya akan dipatenkan namanya di HAKI.
Sementara itu, Rully Shabara, vokalis Senyawa dan Zoo (band eksperimentalnya yang lain), punya kemampuan mengherankan dalam mengolah vokal. Dan Tebo Aumbara? Wah, jangan tanya. Tebo adalah penari yang punya bakat alami. Sejak kecil, Tebo sudah menari. Tarian pertama yang ia pelajari adalah Barong Blora. Lalu, di usia remaja ia pindah ke Bali dan berguru pada penari legendaries, Nyoman Sura. Tak heran kalau kemampuan menari Tebo pun sudah diakui di Eropa.
Kolaborasi mereka pagi kemarin sebut saja “Nasihat Alam”. Ini sebenarnya judul karangan karena mereka tak pernah menyebutnya demikian. Kenapa nasihat alam? Ada beberapa alasan. Pertama, topeng yang digunakan Tebo adalah topeng yang punya filosofi bagus untuk digugu. Tebo bercerita, topeng itu namanya topeng “Kepala, Akar, dan Padi”. Inspirasinya datang dari kematian gurunya, Nyoman Sura. “Aku bikin topeng itu tepat sehari setelah guruku itu meninggal dunia tahun lalu. Filosofinya spiritual farmer. Soal bagaimana petani mencapai tingkat spiritual dengan bekerja.”
Alasan kedua, lirik Rully Shabara. Rully, vokalis Senyawa, menuturkan kalau judul dari lagu yang ia mainkan pagi kemarin adalah “Hilir ke Hulu”. “Isinya tentang kisah air yang mengejar kota yang terbakar,” kata Rully. Air mewakili alam, kota yang terbakar mewakili keserakahan manusia yang tak kunjung usai. Dan kata “mengejar” yang menggabungkan keduanya membuat posisi air, yang mewakili alam, terdengar seperti orang tua yang penuh pengertian: tetap sayang pada anak-anak manusia, meski mereka telah mengkhianatinya dengan nafsu menggebu-gebu.
Penampilan Tebo dan Rully lantas dilengkapi oleh Wukir. Lebih tepatnya, oleh alat musik yang ia bawa hari itu. Namanya Hurdy Gurdy. Inspirasinya datang dari alat musik tradisional Eropa sekitar abad ke-15 yang bernama sama, Hurdy Gurdy. Alat musik ini Wukir bikin sendiri dengan memodifikasi gendang. Ia membuatnya di tahun 2013. Cara memainkannya adalah dengan diputar di salah satu sisinya, sampai menghasilkan suara.
Intinya, paduan suara Hurdy Gurdy, nyanyian dan lirik Rully Shabara, dan gerakan topeng Tebo Aumbara, menghasilkan suasana yang mampu menjembatani energi alam dengan energi manusia yang selama ini seringnya berbenturan. Selayaknya nasihat yang baik, kolaborasi mereka menyadarkan bahwa alam pun bisa emosional. Alam juga punya nasihat yang tak tersampaikan. Kita hanya perlu belajar menerima dan mendengarkan. (G08)